Minggu, 03 Oktober 2010

Minggu, 25 Oktober 2009

Senin, 27 Oktober 2008

Kuliah

1. Agama dan Psikoanalisis Freudian

Agama dan sains dalam bidang psikologi untuk pertama kalinya dilontarkan Sigmund Freud, yang terkenal sebagai bapak psikoanalisis. Freud [keturunan Yahudi] dengan sangat tegas menyatakan ketidak percayaannya terhadap agama. Menurutnya, agama merupakan ilusi, delusi, pengekspresian dari harapan masa kanak-kanak terhadap ketakutan dari bahaya-bahaya kehidupan. Tokoh ateisme ini dalam praktek menghadapi kliennya menemukan bahwa terdapat kesamaan antara tingkah laku orang yang beragama dengan tingkah laku orang yang menderita ”obsesif neurotis”, salah satu ”abnormalitas” dalam tingkah laku. Dengan pemikirannya seperti itu, Freud akhirnya menanggalkan agama “Yahudi” dan menyatakan “psikoanalisis” sebagai panutannya. Freud, dapat mempengaruhi orang lain dan bahkan pemikirannya mengilhami dunia di sekitarnya. Kemudian, beredarlah label dalam masyarakat saat itu bahwa seseorang yang meninggalkan agama adalah seorang ”intelektual” dan ”ilmiah” sedangkan yang menyandang agama dicap memiliki ”patologi” [penyakit].

Sejalan dengan hubungan antara ilmu dan agama, dalam sejarhnya psikologi pernah berperang melawan agama, sehingga agama menyambutnya dengan perlawanan yang gencar. Mula-mula ilmu, melalui Copernicus, yang melancarkan serangan cosmology, dengan mengatakan manusia tidak hidup di pusat alam semesta. Darwin menyerang dengan pukulan biologis, dengan mengatakan bahwa manusia bukanlah makhluk suci, tidak ”bersifat Ilahi”, melainkan sekedar binatang saja. Maka kini, dengan teori yang dikemukakan Freud, kita menderita serangan dalam bidang psikologis, gebrakan yang paling merendahkan dari semuanya, yakni kita adalah manusia tidak lagi mengusai jiwa kita sendiri, artinya manusia yang tidak menjadi majikan dari pikirannya sendiri.

Ilmu Freud bersifat nonmetrik sekaligus nonstatistik. Ilmun Freud, tidak didasarkan pada kajian yang diarahkan pada manusia normal sebagai subyeknya, tetapi manusia yang abnormal. Rolston, mengatakan bahwa kajian yang dilakukan Freud, lahir dari pengalaman ”klinis” pada ”orang-orang sakit”. Model kajian Freud ini dikembangkan di klinik, dan diproyeksikan untuk kehidupan normal. Menurut Rolston, hasil teori-teori Freud, bisa jadi sangat sesuai dalam kasus ”psikologi abnormal” dan kurang bisa bekerja dengan baik pada subjek mental yang sehat. Freudianisme bisa jadi adalah suatu teori tentang pikiran manusia yang sakit, dan bukan tentang mahluk yang normal.

Memang tak ada kritik yang bisa menerima semua spekulasi Freud. Menurutnya, sudah biasa dalam tahap awal berdirinya suatu ilmu untuk terlebih dahulu menemukan fantasi aneh yang diramu dengan hipotesis-hipotesis subur, seperti halnya keyakinan Kepler muda terhadap kesucian matahari yang istimewa, atau seperti halnya elaborasi astrologi dalam Newton. Kepercayaan mistis telah membimbing Dmitri Mendeleev dalam penemuannya mengenai table periode atom, dan Auguste Comte meluncurkan ”sosiologi sebagai suatu ilmu dengan menobatkan dirinya sebagai Paus Kemanusiaan”. Pada kasus Freud, seperti yang terjadi pada ilmu-ilmu lainnya, kita harus memisahkan konteks temuannya dari justifikasi berikutnya, dan menguji usulannya dengan kritis, apabila ia memang memberi kesempatan pada kita untuk melakukan itu. Yang paling utama yang perlu dikaji dalam kasus ini, adalah mengenai asal-usul agama.

Mengenai padangan agama sebagai proyeksi dan ilusi psikologi, pikiran tidak sadar kita menjelaskan ilusi mengenai Bapak di surga [secara histories semula merujuk pada tuhan-tuhan lalu kemudian menjadi satu Tuhan] yang akan bertemu dengan teror alam, yang menyelamatkan kita dari kematian dan memperbaiki privasi budaya. “Ketika individu yang tengah tumbuh menemukan bahwa ia ditakdirkan tetap menjadi seorang anak selamanya, di mana ia selalu bertindak dengan perlindungan dari kekuatan superior asing, ia meminjam kekuatan-kekuatan tersebut untuk dilekatkan pada sosok ayahnya; ia menciptakan tuhan yang ia takuti untuk dirinya sendiri, sosok yang harus ia ambil hatinya, sosok yang ia percayai untuk melindungi dirinya sendiri. Maka pembelaan terhadap ketidakberdayaan kanak-kanak merupakan gambaran yang ia pinjamkan pada reaksi dewasa yang tak tertolong dan harus diakuinya – suatu reaksi yang membentuk agama”. Dalam proyeksi ini tergambar asal-usul keyakinan agama dan tendensi kita untuk menerima agama pada saat agama disebarkan secara cultural16.

Freud menegaskan agama sebagai ilusi. Freud, juga menandai agama sebagaimana yang akan kita lihat sebagai delusi psikotis dan kompulsi neurotis. Ilusi, kata Freud, tidak dengan sendirinya bertentangan dengan fakta. Delusi bertentangan dengan realitas, dan ilusi boleh jadi dapat diwujudkan. Ilusi ditandai, kata Freud, dengan khusus, yakni berasal dari keinginan. Kepercayaan disebut ilusi bila pemuasaan keinginan menjadi “faktor penting dalam motivasinya”. Menginginkan atau memuaskan keinginan adalah keinginan membayangkan objek yang mengurangi tegangan dan ilusi muncul dari imajinasi.

Freud menemukan “asal-usul ide-ide keagamaan secara psikis”. Ide-ide yang selanjutnya menjadi ajaran itu bukanlah renungan pengalaman atau hasil akhir suatu pemikiran; ide-ide tersebut merupakan ilusi, penyelesaian yang paling tua, paling kuat sekaligus memuat harapan-harapan paling mendesak dari manusia. Rahasia dari kekuatan mereka terletak pada kekuatan harapan-harapan tersebut18. Maka dalam pandangan ini, manusia menciptakan Tuhan dan bukan sebaliknya. Freud mengakui bahwa ia hanya menemukan asal-usul ide mengenai Tuhan, dan menganggap bahwa ide tersebut bisa jadi benar. Namun ia juga meyakini bahwa setelah kita ditunjukkan asal-usul keyakinan agama, kita memindahkan semua alasan yang masuk akal demi untuk membenarkan bahwa Tuhan memang benar-benar ada.

Dengan ilmu psikiatri yang dimilikinya, Freud berusaha menghancurkan ilusi ini, sambil meyakini bahwa ilmunya memang benar. Freud mempercayakan bahwa untuk melawan alam, kita harus bersandar pada ilmu. Dengan demikian menurut Freud, agama “tak lain adalah gejala psikologi yang diproyeksikan ke dalam dunia eksternal.” “Faktor-faktor dan hubungan-hubungan psikis dalam ruang tidak sadar” “dipantulka dalam konstruksi realitas supernatural yang kelak ditakdirkan untuk digantikan dengan ilmu dalam bentuk ”psikologi tak sadar”. Maka kata Freud, kita mentransformasikan metafisika ke dalam metapsikologi”. Dari sini kita tidak dapat lagi berdalih tentang ilmu yang bebas nilai. psikoanalisa Freudian bukanlah analisis ”nonteologis”, tetapi psikoanalisanya adalah analisis ”antiteologis”.

Terkait dengan rasionalitas, agama dan motive-motive yang tak disadar. Rolston, mengatakan bahwa ”pikiran tidak sadar” sangat sulit untuk disepakati, sebab tidak memiliki bahan empiris ataupun penilaian introspektif untuk mengujinya. Kondisi ini membuat psikoanalisis berpikir untuk membawa kesadaran ke permukaan material agar dapat melihat apa yang ada di dalamnya dan secara rasional menyesuaikan dengan kesadaran tersebut. Psikologi yang mendalam perlu bekerjasama dengan teori-teori dari ilmu lain, dengan teologi yang memuat postulasi teoritis mengenai entitas-entitas yang tak teramati. Hal ini juga berlaku dalam mencermati “pikiran tidak sadar, Tuhan dan neutrinos”. Menurut Rolston, teori Freudian terbukti ulet. teori Freudian perlu dicurigai karena teori ini berusaha mengakomodir sedemikian banyak masalah yang teramati dengan menyuguhkan pertimbangan mengenai pikiran yang tidak kita sadari.

Freud terkadang merendah dengan keterbatasan psikoanalisa. , “psychoanalisis tidak pernah mengklaim telah menyuguhkan suatu teori komplit mengenai mentalitas manusia secara umum. Tetapi Freudian mengharapkan psichonalisis menawarkan sesuatu yang bisa diterapkan untuk melengkapi dan mengkoreksi pengetahuan yang diperoleh dengan cara lain. Namun tak ada teori yang sangat santun untuk mendukung semua fenomena sadar, tidaklah seperti pada kenampakannya, melainkan berupa bertopeng kepura-puraan dan berselimut dalam determinisme tidak sadar dan tujuan-tujuan diri.

Jika teori pikiran tidak sadar [Tu] diterima, maka berikutnya akan ada implikasi dalam mencermati perbuatan manusia yang teramati [Oc]. Kita dapat mengatakan, ”Jika Tu”, ”maka Oc”Teori itu perlu diujikan pada perbuatan abnormal, mungkin saja justru berada di luar wilayah temuan ini. Selain itu , juga teori ini perlu diuji implikasi dan kongruensinya terhadap perbuatan manusia normal, termasuk perbuatan yang terkait dengan agama dan ilmu. Kita perlu menguji teori-teori tersebut dengan mempertentangkannya dengan pengalaman keagamaan.

Teori psichologis, yang menjelaskan asal-usul keyakinan agama bisa jadi benar adanya atau sebagian di antaranya benar dan tidak saling bertabrakan. Bisa jadi, ide tentang Tuhan datang ke dalam sejumlah pikiran orang-orang theistic sebagai suatu proyeksi tidak sadar melalui analogi dan perluasan dari pengalaman mereka mengenai ”sang bapak di dunia”. Menurut teori ini, sang ayah merupakan ”model klasik” untuk menggambarkan tokoh Tuhan. teori Freud perlu dibersihkan, namun tidak perlu merugikan penjelmaan theisme dengan mengambil versi Kristen untuk menemukan pandangan keagamaan yang berkembang dalam diri manusia yang sepenuhnya memiliki emosi, motivasi atau bahkan kehidupan tidak sadar. setidaknya ini berlaku pada semua pengalaman psychosomatis manusia, bukan hanya dalam kehidupan intelektualnya.

Dengan demikian, teori Freud, justru mempertegas bahwa pengalaman pengasuhan merupakan sumber alami dari konsep Tuhan. keyakinan agama memiliki fungsi yang jauh lebih dalam daripada yang kita sadari dan sejumlah keyakinan membentuk tingkatan-tingkatan yang tak terucapkan. Tuhan bisa jadi menggunakan pikiran tidak sadar sebagai suatu sebab sekunder untuk mendukung ide mengenai diri-Nya. Seperti yang diyakini Carl Jung, bahwa Tuhan menjadi sedemikian memikat ”melalui pikiran tidak sadar”. Dalam beberapa hal, ketidaksadaran merupakan generator ide dan terkadang mendatangkan sejumlah inspirasi. Katakan saja, suara Tuhan bisa jadi “menggelembung” dari ketidaksadaran dan dimediasi oleh ”simbol-simbol mistis”, baik dalam anak-anak maupun orang dewasa. Namun kita melakukan kesalahan genetic jika kita bingung mempertimbangkan asal-usul keyakinan anak-anak dengan penilaian valid orang dewasa. Katakan saja, ayah bisa jadi merupakan konteks ditemukannya ide mengenai Tuhan, namun di sini, kita belum mencapai konteks justifikasi. Kita harus menemukan dahulu apakah ada dan di dalam bentuk apa suatu ide bisa dituntut bisa menjelaskan pengalaman secara logi

Senin, 21 April 2008

PUISI SANG BIDADARI

12/03/07. 21.41.10
Melodi shalawat mengapa begitu lekat dalam benak?
Samudra kerinduan mengapa begitu larut dalam pasirnya?
Hanya cerita? Mengapa tidak terelaksana sunnahnya?
Apakah diri ini tidak pantas bertemu dengannya?

Kamis, 17 April 2008

Anehdot Pesantren

MUNIR


Kebiasaan di Pesantren Luhur Malang antri kamar mandi, walau tuk sekedar membasuh muka, buanng air kencing, buang air besar sampai mandipun harus antri karena terbatasnya sarana kamar mandi di pesantren, menggedor pintu kamar mandi untuk menyuruh santri yang didalamnya untuk lekas keluar diganti oleh yang lain. Sudah menjadi sebuah kewajiban.
Pada suatu ketika Mbah jenggot merasakan perutnya sakit luar biasa... diapun bergegas dari ke kamar mandi, tapi apes kamar mandi penuh semua....maka dengan harapan strategi jitu ia pun menggedor-godr salah satu pintu kamar mandi...
Dor......dor......dor........sangat keras sampai suaranya terdengar di dalam kamr santri yang lain
Mbah Jenggot : Nir..Nir... cepetan aku udah ngak tahan, cepetan antri....Suwe tenan
Pintupun terbuka dan terdengar suara..
" ono opo Le..."
Seketika itupun Mbah Jenggot lari terbirit-birit dengan muka merah padam kembali ke kamarnya...
e...... ternyata yang ada dalam kamar mandi adalah Pak Yai Munir.....
kena Loe Mbah........................ ngak jadi deh.. buang airnya


NOTE :
Sanor : Santri Senior (santri yang udah lama di Pesantren)
Suwe Tenan : lama sekali
Ono opo le : ada apa nak
Pak Yai Munir : salah satu Dewan Asatidz mengajar Ibnu Aqil dan Tafsir Ayatul Ahkam

Puisi Sang Bidadari

22/02/07. 13.23.28

Singgasana langit begitu cerah
Terselimut udara padang sahara
Cakrawala memancarkan aura Sang raja
Mengajak kita tuk selalu tersenyum dan berdzikir kepadaNya…
Selamat siang……