Senin, 27 Oktober 2008

Kuliah

1. Agama dan Psikoanalisis Freudian

Agama dan sains dalam bidang psikologi untuk pertama kalinya dilontarkan Sigmund Freud, yang terkenal sebagai bapak psikoanalisis. Freud [keturunan Yahudi] dengan sangat tegas menyatakan ketidak percayaannya terhadap agama. Menurutnya, agama merupakan ilusi, delusi, pengekspresian dari harapan masa kanak-kanak terhadap ketakutan dari bahaya-bahaya kehidupan. Tokoh ateisme ini dalam praktek menghadapi kliennya menemukan bahwa terdapat kesamaan antara tingkah laku orang yang beragama dengan tingkah laku orang yang menderita ”obsesif neurotis”, salah satu ”abnormalitas” dalam tingkah laku. Dengan pemikirannya seperti itu, Freud akhirnya menanggalkan agama “Yahudi” dan menyatakan “psikoanalisis” sebagai panutannya. Freud, dapat mempengaruhi orang lain dan bahkan pemikirannya mengilhami dunia di sekitarnya. Kemudian, beredarlah label dalam masyarakat saat itu bahwa seseorang yang meninggalkan agama adalah seorang ”intelektual” dan ”ilmiah” sedangkan yang menyandang agama dicap memiliki ”patologi” [penyakit].

Sejalan dengan hubungan antara ilmu dan agama, dalam sejarhnya psikologi pernah berperang melawan agama, sehingga agama menyambutnya dengan perlawanan yang gencar. Mula-mula ilmu, melalui Copernicus, yang melancarkan serangan cosmology, dengan mengatakan manusia tidak hidup di pusat alam semesta. Darwin menyerang dengan pukulan biologis, dengan mengatakan bahwa manusia bukanlah makhluk suci, tidak ”bersifat Ilahi”, melainkan sekedar binatang saja. Maka kini, dengan teori yang dikemukakan Freud, kita menderita serangan dalam bidang psikologis, gebrakan yang paling merendahkan dari semuanya, yakni kita adalah manusia tidak lagi mengusai jiwa kita sendiri, artinya manusia yang tidak menjadi majikan dari pikirannya sendiri.

Ilmu Freud bersifat nonmetrik sekaligus nonstatistik. Ilmun Freud, tidak didasarkan pada kajian yang diarahkan pada manusia normal sebagai subyeknya, tetapi manusia yang abnormal. Rolston, mengatakan bahwa kajian yang dilakukan Freud, lahir dari pengalaman ”klinis” pada ”orang-orang sakit”. Model kajian Freud ini dikembangkan di klinik, dan diproyeksikan untuk kehidupan normal. Menurut Rolston, hasil teori-teori Freud, bisa jadi sangat sesuai dalam kasus ”psikologi abnormal” dan kurang bisa bekerja dengan baik pada subjek mental yang sehat. Freudianisme bisa jadi adalah suatu teori tentang pikiran manusia yang sakit, dan bukan tentang mahluk yang normal.

Memang tak ada kritik yang bisa menerima semua spekulasi Freud. Menurutnya, sudah biasa dalam tahap awal berdirinya suatu ilmu untuk terlebih dahulu menemukan fantasi aneh yang diramu dengan hipotesis-hipotesis subur, seperti halnya keyakinan Kepler muda terhadap kesucian matahari yang istimewa, atau seperti halnya elaborasi astrologi dalam Newton. Kepercayaan mistis telah membimbing Dmitri Mendeleev dalam penemuannya mengenai table periode atom, dan Auguste Comte meluncurkan ”sosiologi sebagai suatu ilmu dengan menobatkan dirinya sebagai Paus Kemanusiaan”. Pada kasus Freud, seperti yang terjadi pada ilmu-ilmu lainnya, kita harus memisahkan konteks temuannya dari justifikasi berikutnya, dan menguji usulannya dengan kritis, apabila ia memang memberi kesempatan pada kita untuk melakukan itu. Yang paling utama yang perlu dikaji dalam kasus ini, adalah mengenai asal-usul agama.

Mengenai padangan agama sebagai proyeksi dan ilusi psikologi, pikiran tidak sadar kita menjelaskan ilusi mengenai Bapak di surga [secara histories semula merujuk pada tuhan-tuhan lalu kemudian menjadi satu Tuhan] yang akan bertemu dengan teror alam, yang menyelamatkan kita dari kematian dan memperbaiki privasi budaya. “Ketika individu yang tengah tumbuh menemukan bahwa ia ditakdirkan tetap menjadi seorang anak selamanya, di mana ia selalu bertindak dengan perlindungan dari kekuatan superior asing, ia meminjam kekuatan-kekuatan tersebut untuk dilekatkan pada sosok ayahnya; ia menciptakan tuhan yang ia takuti untuk dirinya sendiri, sosok yang harus ia ambil hatinya, sosok yang ia percayai untuk melindungi dirinya sendiri. Maka pembelaan terhadap ketidakberdayaan kanak-kanak merupakan gambaran yang ia pinjamkan pada reaksi dewasa yang tak tertolong dan harus diakuinya – suatu reaksi yang membentuk agama”. Dalam proyeksi ini tergambar asal-usul keyakinan agama dan tendensi kita untuk menerima agama pada saat agama disebarkan secara cultural16.

Freud menegaskan agama sebagai ilusi. Freud, juga menandai agama sebagaimana yang akan kita lihat sebagai delusi psikotis dan kompulsi neurotis. Ilusi, kata Freud, tidak dengan sendirinya bertentangan dengan fakta. Delusi bertentangan dengan realitas, dan ilusi boleh jadi dapat diwujudkan. Ilusi ditandai, kata Freud, dengan khusus, yakni berasal dari keinginan. Kepercayaan disebut ilusi bila pemuasaan keinginan menjadi “faktor penting dalam motivasinya”. Menginginkan atau memuaskan keinginan adalah keinginan membayangkan objek yang mengurangi tegangan dan ilusi muncul dari imajinasi.

Freud menemukan “asal-usul ide-ide keagamaan secara psikis”. Ide-ide yang selanjutnya menjadi ajaran itu bukanlah renungan pengalaman atau hasil akhir suatu pemikiran; ide-ide tersebut merupakan ilusi, penyelesaian yang paling tua, paling kuat sekaligus memuat harapan-harapan paling mendesak dari manusia. Rahasia dari kekuatan mereka terletak pada kekuatan harapan-harapan tersebut18. Maka dalam pandangan ini, manusia menciptakan Tuhan dan bukan sebaliknya. Freud mengakui bahwa ia hanya menemukan asal-usul ide mengenai Tuhan, dan menganggap bahwa ide tersebut bisa jadi benar. Namun ia juga meyakini bahwa setelah kita ditunjukkan asal-usul keyakinan agama, kita memindahkan semua alasan yang masuk akal demi untuk membenarkan bahwa Tuhan memang benar-benar ada.

Dengan ilmu psikiatri yang dimilikinya, Freud berusaha menghancurkan ilusi ini, sambil meyakini bahwa ilmunya memang benar. Freud mempercayakan bahwa untuk melawan alam, kita harus bersandar pada ilmu. Dengan demikian menurut Freud, agama “tak lain adalah gejala psikologi yang diproyeksikan ke dalam dunia eksternal.” “Faktor-faktor dan hubungan-hubungan psikis dalam ruang tidak sadar” “dipantulka dalam konstruksi realitas supernatural yang kelak ditakdirkan untuk digantikan dengan ilmu dalam bentuk ”psikologi tak sadar”. Maka kata Freud, kita mentransformasikan metafisika ke dalam metapsikologi”. Dari sini kita tidak dapat lagi berdalih tentang ilmu yang bebas nilai. psikoanalisa Freudian bukanlah analisis ”nonteologis”, tetapi psikoanalisanya adalah analisis ”antiteologis”.

Terkait dengan rasionalitas, agama dan motive-motive yang tak disadar. Rolston, mengatakan bahwa ”pikiran tidak sadar” sangat sulit untuk disepakati, sebab tidak memiliki bahan empiris ataupun penilaian introspektif untuk mengujinya. Kondisi ini membuat psikoanalisis berpikir untuk membawa kesadaran ke permukaan material agar dapat melihat apa yang ada di dalamnya dan secara rasional menyesuaikan dengan kesadaran tersebut. Psikologi yang mendalam perlu bekerjasama dengan teori-teori dari ilmu lain, dengan teologi yang memuat postulasi teoritis mengenai entitas-entitas yang tak teramati. Hal ini juga berlaku dalam mencermati “pikiran tidak sadar, Tuhan dan neutrinos”. Menurut Rolston, teori Freudian terbukti ulet. teori Freudian perlu dicurigai karena teori ini berusaha mengakomodir sedemikian banyak masalah yang teramati dengan menyuguhkan pertimbangan mengenai pikiran yang tidak kita sadari.

Freud terkadang merendah dengan keterbatasan psikoanalisa. , “psychoanalisis tidak pernah mengklaim telah menyuguhkan suatu teori komplit mengenai mentalitas manusia secara umum. Tetapi Freudian mengharapkan psichonalisis menawarkan sesuatu yang bisa diterapkan untuk melengkapi dan mengkoreksi pengetahuan yang diperoleh dengan cara lain. Namun tak ada teori yang sangat santun untuk mendukung semua fenomena sadar, tidaklah seperti pada kenampakannya, melainkan berupa bertopeng kepura-puraan dan berselimut dalam determinisme tidak sadar dan tujuan-tujuan diri.

Jika teori pikiran tidak sadar [Tu] diterima, maka berikutnya akan ada implikasi dalam mencermati perbuatan manusia yang teramati [Oc]. Kita dapat mengatakan, ”Jika Tu”, ”maka Oc”Teori itu perlu diujikan pada perbuatan abnormal, mungkin saja justru berada di luar wilayah temuan ini. Selain itu , juga teori ini perlu diuji implikasi dan kongruensinya terhadap perbuatan manusia normal, termasuk perbuatan yang terkait dengan agama dan ilmu. Kita perlu menguji teori-teori tersebut dengan mempertentangkannya dengan pengalaman keagamaan.

Teori psichologis, yang menjelaskan asal-usul keyakinan agama bisa jadi benar adanya atau sebagian di antaranya benar dan tidak saling bertabrakan. Bisa jadi, ide tentang Tuhan datang ke dalam sejumlah pikiran orang-orang theistic sebagai suatu proyeksi tidak sadar melalui analogi dan perluasan dari pengalaman mereka mengenai ”sang bapak di dunia”. Menurut teori ini, sang ayah merupakan ”model klasik” untuk menggambarkan tokoh Tuhan. teori Freud perlu dibersihkan, namun tidak perlu merugikan penjelmaan theisme dengan mengambil versi Kristen untuk menemukan pandangan keagamaan yang berkembang dalam diri manusia yang sepenuhnya memiliki emosi, motivasi atau bahkan kehidupan tidak sadar. setidaknya ini berlaku pada semua pengalaman psychosomatis manusia, bukan hanya dalam kehidupan intelektualnya.

Dengan demikian, teori Freud, justru mempertegas bahwa pengalaman pengasuhan merupakan sumber alami dari konsep Tuhan. keyakinan agama memiliki fungsi yang jauh lebih dalam daripada yang kita sadari dan sejumlah keyakinan membentuk tingkatan-tingkatan yang tak terucapkan. Tuhan bisa jadi menggunakan pikiran tidak sadar sebagai suatu sebab sekunder untuk mendukung ide mengenai diri-Nya. Seperti yang diyakini Carl Jung, bahwa Tuhan menjadi sedemikian memikat ”melalui pikiran tidak sadar”. Dalam beberapa hal, ketidaksadaran merupakan generator ide dan terkadang mendatangkan sejumlah inspirasi. Katakan saja, suara Tuhan bisa jadi “menggelembung” dari ketidaksadaran dan dimediasi oleh ”simbol-simbol mistis”, baik dalam anak-anak maupun orang dewasa. Namun kita melakukan kesalahan genetic jika kita bingung mempertimbangkan asal-usul keyakinan anak-anak dengan penilaian valid orang dewasa. Katakan saja, ayah bisa jadi merupakan konteks ditemukannya ide mengenai Tuhan, namun di sini, kita belum mencapai konteks justifikasi. Kita harus menemukan dahulu apakah ada dan di dalam bentuk apa suatu ide bisa dituntut bisa menjelaskan pengalaman secara logi

Senin, 21 April 2008

PUISI SANG BIDADARI

12/03/07. 21.41.10
Melodi shalawat mengapa begitu lekat dalam benak?
Samudra kerinduan mengapa begitu larut dalam pasirnya?
Hanya cerita? Mengapa tidak terelaksana sunnahnya?
Apakah diri ini tidak pantas bertemu dengannya?

Kamis, 17 April 2008

Anehdot Pesantren

MUNIR


Kebiasaan di Pesantren Luhur Malang antri kamar mandi, walau tuk sekedar membasuh muka, buanng air kencing, buang air besar sampai mandipun harus antri karena terbatasnya sarana kamar mandi di pesantren, menggedor pintu kamar mandi untuk menyuruh santri yang didalamnya untuk lekas keluar diganti oleh yang lain. Sudah menjadi sebuah kewajiban.
Pada suatu ketika Mbah jenggot merasakan perutnya sakit luar biasa... diapun bergegas dari ke kamar mandi, tapi apes kamar mandi penuh semua....maka dengan harapan strategi jitu ia pun menggedor-godr salah satu pintu kamar mandi...
Dor......dor......dor........sangat keras sampai suaranya terdengar di dalam kamr santri yang lain
Mbah Jenggot : Nir..Nir... cepetan aku udah ngak tahan, cepetan antri....Suwe tenan
Pintupun terbuka dan terdengar suara..
" ono opo Le..."
Seketika itupun Mbah Jenggot lari terbirit-birit dengan muka merah padam kembali ke kamarnya...
e...... ternyata yang ada dalam kamar mandi adalah Pak Yai Munir.....
kena Loe Mbah........................ ngak jadi deh.. buang airnya


NOTE :
Sanor : Santri Senior (santri yang udah lama di Pesantren)
Suwe Tenan : lama sekali
Ono opo le : ada apa nak
Pak Yai Munir : salah satu Dewan Asatidz mengajar Ibnu Aqil dan Tafsir Ayatul Ahkam

Puisi Sang Bidadari

22/02/07. 13.23.28

Singgasana langit begitu cerah
Terselimut udara padang sahara
Cakrawala memancarkan aura Sang raja
Mengajak kita tuk selalu tersenyum dan berdzikir kepadaNya…
Selamat siang……

KAJIAN

TRADISI PEMIKIRIAN (TELEKTUAL) PARA ILMUAN
(antara Islam dan Barat)
Pendahuluan

Kajian tentang tradisi pemikiran atau tradisi intelektual sangat menarik untuk diperbincangkan, karena taradisi inilah yang akan melahirkan pengetahuan dan budaya dan imu pengetahuan yang mewarnai kehidupan manusia
Sudah disepakati bahwa manusia adalah makhluk yang berakal. Sudah banyak filosof membahas hakikat akal, orang boleh berdebat dan berbeda pendapat tentang apa yang disebut akal, tetapi semua setuju akal adalah alat berpikir. Dalam perkembangan peradaban, manusia menemukan cara-cara berpikir yang benar. Caracara berpikir yang benar tersebut dengan tujuan untuk mencari suatu kebenaran. Dalam ajaran agama Islam, seperti disinyalir al-Qur'an, manusia diciptakan sebagai makhluk yang paling sempurna. Kesempurnaannya adalah karena anugerah akal pikiran yang diberikan oleh Allah swt. Kepada manusia. Menurut Bross (1953)2 manusia adalah masterpice Tu han, karena itu ia merupakan makhluk yang paling istimewa. Keistimewaannya adalah kemampuannya untuk membuat dan mengambil keputusan. Kemampuan menganbil keputusan yang dimiliki manusia karena akalnya, sehingga memungkinkan ia berpikir dan bernalar dalam rangka mencari kebenaran.
Dengan akal itulah manusia dapat berfikir dan bernalar untuk mengumpulkan pengetahuan tentang segala yang ada dari pengalaman. Mulamula pengetahuan yang diperolehnya itu adalah pengetahuan biasa. Tetapi, pada perkembangan berikutnya akal manusia akan mencari keterangan yang dapat membenarkan mengapa suatu hal bisa terjadi. Sifat akal seperti ini yang nantinya mendorong manusia untuk memperoleh pengetahuan yang benar dan bahkan mempertanyakan tentang kebenaran itu sendiri. Kalau sudah sampai di sini, maka permasalahannya menjadi tidak sederhana lagi. Manusia akan mulai menanyakan tentang apakah hakekat kebenaran itu, bagaimana cara memperolehnya, dan untuk apa kebenaran itu dicari. Pada tingkat perkembangan seperti ini, maka timbul dalam diri manusia itu kebutuhan untuk mencari hakekat kebenaran

Jejak-jejak dari berbagai jenis pemikiran dan reaksi masih kuat kita rasakan. Ada (kalangan) skolastik taat, kalangan keagamaan yang saleh dan kalangan ilmuwan murni. Kemudian ada orang yang begitu membenci organisasi sehingga berlebihan menentangnya dengan menyerukan kembali kepada peramal yang tidak tahu baca-tulis dan yakin bahwa seluruh kebesaran manusia dicapai dengan ilham. Sementara ilmu-ilmu psikologis dan ilmu-ilmu lainnya mengikuti dengan menunjukkan ketidaklayakan dari ilmu-ilmu lainnya. Dalam banyak kasus, hal ini telah menjadi suatu nada tunggal yang bisa merujuk pada perdebatan dari suatu gagasan tertutup dan memiliki sifat dogmatisme keagamaan dan semua dogmatisme lainnya.

Perkembangan Pemikiran dalam Islam
Tradisi pemikiran dan keilmuan dalam Islam berkembang cukup pesat dengan dimulainya aktivitas penerjemahan karya-karya Yunani kuno ke dalam bahasa Arab. Menurut catatan sejarah, perkembangan intelektual Islam mengalami tiga gelombang besar. Pertama, fase kejayaan. Di bawah dorongan ajaran islam, suatu peradaban tumbuh dalam dua abad pertama hijriyah yang menghasilkan perubahan pandangan yang dramatis. Peradaban ini lahir dari konsep pengetahuan terintegrasi ('ilm) yang memadukan aspek material dan spiritual sebagai kesatuan yang seimbang. Dengan dorongan Islam untuk mengamati, mempertimbangkan, dan merenungkan, keinginan memperoleh pengetahuan menjadi hasrat yang mengakar. Gerakan demi kemajuan pengetahuan lmiah yang dipimpin oleh umat islam ini berlangsung setidaknya selama tujuh abad (dari 700 sampai 1400 M) dan menghasilkan lebih dari seratus orang jenius yang diakui telah mengubah haluan pemikiran ilmu pengetahuan secara signifikan.
Dengan demikian, pada masa itu Islam berhasil membangun dan mencapai kemajuan yang luar biasa dalam bidang keilmuan dan mampu menjadi center of civilization yang utama pada skala global. Islam juga mampu menghadirkan peradaban yang besar dan agung.
Aktivitas keilmuan ini kian marak dengan dibangunnya pusat pengajian terkenal di Baghdad, Basrah, Kufah dan Andalus. Begitu juga perkembangan perpustakaan yang menjadi pusat penyelidikan para ilmuan Islam. Pada mulanya masjid dijadikan pusat penyebaran ilmu sebelum berdirinya kuttab, madrasah (sekolah) dan Jami’ah (universitas). Dalam tradisi skolastik Islam, madrasah menjadi lembaga pendidikan yang sangat penting. Dari sudut sejarah pendidikan, madrasah merupakan perkembangan lebih lanjut dari masjid yang menjadi pusat pendidikan tinggi untuk mempersiapkan ahli-ahli hukum Islam, yang eksklusif bagi setiap madzab. Dari sudut politik, madrasah adalah media yang sangat efektif untuk memenangkan pengaruh ulama. Sedangkan dari sudut pembentukan ortodoksi Islam, madrasah mewakili gerakan kaum tradisionalis untuk mengkristalkan pandangan dan ajarannya yang bebas dari pengaruh pemikiran kaum rasionalis, seperti Asy’ariyah dan Mu’tazilah, begitu juga bebas dari pemikiran Syi’ah.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan tradisi keilmuan Islam ini berkembang pesat kala itu salah satunya adalah keinginan pihak khalifah mendirikan institusi pendidikan, toko-toko buku dan perpustakaan berkembang pesat, guru-guru yang mengajar dengan penuh keikhlasan serta kegiatan pembukuan dan penjilidan yang demikian pesat. Artinya bahwa tradisi keilmuan tidak hanya dimiliki oleh kalangan elit tapi hampir seluruh lapisan masyarakat berlomba membekali diri dengan keilmuan yang memadai. Sungguh satu hal yang mengagumkan apabila kita membaca sejarah umat Islam dahulu yang begitu berminat membaca, mengajar serta megembangkan ilmu. Masing-masing berlomba-lomba memberikan kontribusinya dalam memajukan institusi pendidikan dengan mewakafkan sebagian harta mereka untuk kebutuhan kemajuan pendidikan.
Dalam tradisi keilmuan Islam, kita temukan tiga jenis perpustakaan yaitu perpustakaan umum, perpustakaan khas (khusus) dan perpustakaan khas-umum. Perpustakaan umum yaitu perpustakaan yang dibuka untuk orang awam seperti perpustakaan di masjid-masjid. Perpustakaan ini dapat dipergunakan oleh siapapun juga dari beragam kalangan. Diantaranya adalah perpustakaan Basrah dan Perpustakaan al-Azhar. Di Baghdad saja terdapat 38 buah perpustakaan umum dan di Cordova terdapat 70 buah perpustakaan.
Perpustakaan khas (khusus) ialah perpustakaan pribadi yang dimiliki oleh para pembesar dan ulama, seperti perpustakaan Fatah bin Haqân (w. 247 H) dan perpustakaan Ibn Khasyab (567 M). Perpustakaan umum-khas yaitu perpustakaan yang khusus untuk para ulama, sarjana dan pelajar. Perpustakaan ini tidak dibuka kepada umum tetapi diperuntukan bagi para akademisi dan ilmuwan saja. Diantaranya Perpustakaan Baitul Hikmah yang didirikan oleh Harun al-Rasyid di Baghdad, Perpustakaan Dar al-Hikmah yang didirikan oleh Hakam Amrillah pada tahun 395 H di Kaherah dan Perpustakaan Cordova.
Nuh ibnu Mansur adalah salah seorang yang bangga dengan dirinya karena menjadi salah seorang yang memiliki perpustakaan terbaik. Ia meminta ibnu Abbad untuk menjadi ketua penanggung jawabnya, kemudian ia menolak pegawai kerajaan karena harus membutuhkan 400 ekor onta untuk mengangkut buku-bukunya tersebut ke ibukota, katalog perpustakaan pribadinya terdiri dari sepuluh volume. Perpustakaan Adun Dawlah (wafat 982) memiliki dua cabang, disamping satu perpustakaan miliknya di Basrah, ia membangun sebuah perpustakaan yang luas di pekarangan istananya di Shiraz, dipimpin oleh seorang pustakawan, seorang pengawas dan seorang direktur (Hazin, Matsrif dan Wakil). Perpustakaan tersebut berisi banyak buku-buku literature ilmiah. Cyril Elgood menggambarkan buku-buku Adun Dawlah tersimpan memanjang (dalam garis bujur) ruang (hall) yang melengkung dengan banyak kamar di semua sudutnya. Pada dinding ruang tersebut ditempatkan rak buku setinggi enam kaki dan lebar tiga yard, terbuat dari kayu berukir, dengan pintu-pintu yang tertutup dari atas. Setiap cabang ilmu pengetahuan memiliki kotak-kotak buku dan katalog yang terpisah.
Perpustakaan Baitul Hikmah (rumah pengetahuan) yang didirikan pada tahun 998, oleh Khalifah fathimiyah, al-Aziz (975-996). Berisi tidak kurang dari 100.000 volume, kurang lebih sebanyak 600.000 jilid buku, termasuk 2.400 buah al-Qur’an berhiaskan emas dan perak disimpan di ruang terpisah. Di Spanyol dan Sisilia ada lebih dari tujuh puluh perpustakaan muslim Spanyol, dua terbesar diantaranya adalah perpustakaan Khalifah al-Hakim (wafat 976) di Cordova, berisi sekitar 600.000 volume yang secara hati-hati diseleksi oleh para penyalur buku masa itu yang ahli dari semua pasar buku Islam. Perpustakaannya dipimpin oleh sebuah staf yang cukup besar, terdiri dari para pustakawan, penyalin dan penjilid di dalam scriptorium. Perpustakaan Abdul Mutrif, seorang hakim Cordova, kebanyakan berisi buku-buku langka, masterpiece-masterpiece kaligrafi, mempekerjakan enam orang penyalin yang bekerja penuh waktu. Perpustakaan ini terjual dalam lelang sebesar 40.000 dinar setelah ia wafat tahun 1011. Perpustakaan Sabor di Baghdad yang didirikan oleh Sabor bin Ardashir seorang menteri Ibn Buwaih pada tahun 383 H. Perpustakaan ini juga berisi seribu al-Qur’an tulisan tangan dan 10,400 buah buku dalam pelbagai bidang. Di Baghdad terdapat seratus buah toko buku dan ulama yang tinggal di situ tidak kurang dari delapan ribu orang..
Begitulah maraknya kegiatan tradisi keilmuan Islam pada masa itu. Semua orang berlomba memperkaya diri dengan ilmu. Sedangkan pada saat yang sama dunia Eropa masih berada dalam masa kegelapan. Bangsa Eropa dalam keadaan kekurangan buku dan perpustakaan. Dalam abad ke-9 Masehi, Perpustakan Katedral di Bandar Kensington hanya menyimpan 356 buah buku saja dan Perpustakaan di Hamburg mempunyai 96 buah buku saja. Ini menunjukkan umat Islam saat itu sangat unggul dalam kecintaan dan penghargaannya terhadap buku dan ilmu. Bahkan bangsa Eropa kala itu menjadikan peradaban Islam sebagai acuan gaya hidupnya sebagaimana sekarang bangsa Timur menjadikan Barat sebagai ukuran kemajuan. Umat Islam kala itu berusaha menyalin semua salinan-salinan manuskrip terutama al-Qur’an, hadis, sastra dan sains. Ibn Ishaq Nadim telah menulis buku yang berjudul al-Fihrist (Katalog) yang membicarakan buku-buku serta pengarangnya hingga abad-10 masehi. Buku ini merupakan karya bibliografi dan katalog yang paling lengkap tentang manuskrip-manuskrip yang ditulis atau diterjemahkan oleh sarjana muslim. Walaupun begitu, banyak buku-buku tersebut telah hilang akibat peperangan dan pemusnahan perpustakaan. Kegigihan Imam al-Ghazali dalam menuntut ilmu patut pula dijadikan contoh. Walaupun dia telah menjadi ulama besar dan mendapat gelar hujjat al-Islam tetapi ia masih berguru dalam bidang hadis pada detik-detik terakhir kehidupannya.
Kegiatan keilmuan ini membuktikan bahwa tradisi keilmuan Islam berkembang pesat pada zaman tersebut bersama dengan kegemilangan peradaban Islam. Peradaban yang maju tidak dapat dibangun dan dipertahankan tanpa tradisi keilmuan yang kuat. Dengan kata lain, peradaban Islam berkembang seiring dengan kuatnya perkembangan tradisi keilmuan. Oleh sebab itu, membangun peradaban Islam mesti mengikutsertakan pembangunan tradisi keilmuan dengan mewujudkan dan memperbanyak institusi pendidikan yang berkualitas dan jaringannya menembus batas negara. Demikian juga, umat Islam perlu melahirkan ulama, sarjana dan pemikir yang berkualitas yang mampu menghadirkan kegiatan kajian, penelitian dan penterjemahan yang semarak. Tanpa unsur-unsur tersebut institusi pendidikan dan keilmuan akan nampak sepi dan tidak berkembang.
Ilmu-ilmu keagamaan dan ilmu-ilmu lainnya berkembang sangat pesat, yaitu dengan lahirnya beberapa tokoh besar pada zamannya, seperti Jabir ibn al-Hayyan (kimia), Muhammad ibn Musa al-Khwarizmi (matematika), Muhammad ibn Zakariya al-Razi (kedokteran), Ali ibnal-Husain al-mas'udi (geografi), Abu Raihan Muhammad ibn Ahmad al-Biruni (fisika dan geografi), Ibn Sina (kedokteran), Abu al-Qasim al-Zahrawi(ilmu bedah), Abu al-Walid ibn Rusyd (filsafat ilmu), dan Ibn Nafis (fisiologi), dan sebagainya.
Kedua, fase kemunduran. Fase kejayaan sebagaimana diuraikan di atas diikuti oleh masa surutnya kegiatan, bahkan kemerosotan, yang lamanya lebih dari tiga ratus tahun (1400-1750), bersamaan dengan masa ketika Eropa mengasimilasi sumbangan ilmiah dari al-Khwarizmi, ibn Sina, Ibn al-Haitsam, al-zahrawi, dan Ibn Rusyd. Orang mungkin setuju dengan analogi M. Bennabi bahwa karena
dorongan al-Qur'an mati, sedikit demi sedikit Dunia Muslim mandek bagai motor yang
sedang menghabiskan liter bensin yang terakhir. Di sepanjang sejarah, tak ada pengganti duniawi yang dapat menggantikan sumber energi manusia yang unik, yakni iman.
Kemudian, muncullah masa kekacauan besar dan pemikiran ulang di Dunia Muslim, sebagian terjadi akibat dominasi politik serta kemuadian dominasi ekonomi dan teknologi Eropa (dan kemudian Amerika) atas Negara-negara Muslim.40 Pada masa itu, yaitu abad ke-14 samapi abad ke-17 umat Islam mengalami masa kemunduran dalam bidang keilmuan, disamping karena akibat dominasi politik, ekonomi, dan teknologi Barat juga karena mereka merasa cukup apa yang sudah dilakukan oleh pendahulunya dan menikmati romantisme sejarah dan cenderung pada olah rasa atau tasawuf.
Ketiga, fase kebangkitan ilmiah. Pada abad ke-19 dan abad ke-20 dapat disebut sebagai fase kebangkitan ilmiah yang ditandai oleh geliat kebangkitan kembali umat Islam. Di setiap Negara terdapat petunjuk adanya modernisasi pada awal abad ke-18 dan adanya kegiatan ilmiah pada akhir abad ke-18, serta awal abad ke 19, diikuti dengan pertumbuhan yang stabil.41 Demikianlah, pada dasawarsa terakhir abad ke-18, satu karya ilmiah diterbitkan oleh seorang ilmuan Muslim di anak Benua India, sedangkan pada abad ke-19 terlihat perkembangan yang eksponensial, dengan 52 karya diterbitkan selama periode 1890-1909. Setelah itu, perkembangan kegiatan ilmiah di anak Benua India berlangsung sangat cepat, seperti yang didokumentasikan oleh Mohammed Ataur-Rahim(1983).

Ibnu Rusyd
Abul al Walid Muhammad Ibnu Ahmad Ibnu Muhammad Ibnu Rusydi, yang kemudian lebih dikenal dengan nama Ibnu Rusydi atau Averrous, merupakan seorang ilmuwan muslim yang sangat berpengaruh pada abad ke-12 dan beberapa abad berikutnya. Ia adalah seorang filosof yang telah berjasa mengintegrasikan Islam dengan tradisi pemikiran Yunani.
Ibnu Rusydi dilahirkan pada tahun 1126 M di Qurtubah (Cordoba) dari sebuah keluarga bangsawan terkemuka. Ayahnya adalah seorang ahli hukum yang cukup berpengaruh di Cordoba, dan banyak pula saudaranya yang menduduki posisi penting di pemerintahan. Latar belakang kelauarga tersebut sangat mempengaruhi proses pembentukan tingkat intelektualitasnya di kemudian hari.
Kebesaran Ibnu Rusydi sebagai seorang pemikir sangat dipengaruhi oleh zeitgeist atau jiwa zamannya. Abad ke-12 dan beberapa abad sebelumnya merupakan zaman keemasan bagi perkembangan ilmu pengetahuan di Dunia Islam, yang berpusat di Semenanjung Andalusia (Spanyol) di bawah pemerintahan Dinasti Abasiyah. Para penguasa muslim pada masa itu mendukung sekali perkembangan ilmu pengetahuan, bahkan mereka sering memerintahkan para ilmuwan untuk menggali kembali warisan intelektual Yunani yang masih tersisa, sehingga nama-nama ilmuwan besar Yunani seperti Aristoteles, Plato, Phitagoras, ataupun Euclides dengan karya-karyanya masih tetap terpelihara sampai sekarang
Liku-liku perjalanan hidup pemikir besar ini sangatlah menarik. Ibnu Rusydi dapat digolongkan sebagai seorang ilmuwan yang komplit. Selain sebagai seorang ahli filsafat, ia juga dikenal sebagai seorang yang ahli dalam bidang kedokteran, sastra, logika, ilmu-ilmu pasti, di samping sangat menguasai pula pengetahuan keislaman, khususnya dalam tafsir Al Qur’an dan Hadits ataupun dalam bidang hukum dan fikih. Bahkan karya terbesarnya dalam bidang kedokteran, yaitu Al Kuliyat Fil-Tibb atau (Hal-Hal yang Umum tentang Ilmu Pengobatan) telah menjadi rujukan utama dalam bidang kedokteran.
Kecerdasan yang luar biasa dan pemahamannya yang mendalam dalam banyak disiplin ilmu, menyebabkan ia diangkat menjadi kepala qadi atau hakim agung Cordoba, jabatan yang pernah dipegang oleh kakeknya pada masa pemerintahan Dinasti al Murabitun di Afrika Utara.Posisi yang prestisius dan tentunya diimpikan banyak orang. Posisi tersebut ia pegang pada masa pemerintahan Khalihaf Abu Ya’kub Yusuf dan anaknya Khalifah Abu Yusuf.
Hal terpenting dari kiprah Ibnu Rusydi dalam bidang ilmu pengetahuan adalah usahanya untuk menerjemahkan dan melengkapi karya-karya pemikir Yunani, terutama karya Aristoteles dan Plato, yang mempunyai pengaruh selama berabad-abad lamanya. Antara tahun 1169-1195, Ibnu Rusydi menulis satu segi komentar terhadap karya-karya Aristoteles, seperti De Organon, De Anima, Phiysica, Metaphisica, De Partibus Animalia, Parna Naturalisi, Metodologica, Rhetorica, dan Nichomachean Ethick. Semua komentarnya tergabung dalam sebuah versi Latin melengkapi karya Aristoteles. Komentar-komentarnya sangat berpengaruh terhadap pembentukan tradisi intelektual kaum Yahudi dan Nasrani.
Analisanya telah mampu menghadirkan secara lengkap pemikiran Aristoteles. Ia pun melengkapi telaahnya dengan menggunanakan komentar-komentar klasik dari Themisius, Alexander of Aphiordisius, al Farabi dengan Falasifah-nya, dan komentar Ibnu Sina. Komentarnya terhadap percobaan Aristoteles mengenai ilmu-ilmu alam, memperlihatkan kemampuan luar biasa dalam menghasilkan sebuah observasi.
Perkembangan Tradisi Pemikiran Barat
Sudah diakui bahwa "gerakan intelektual yang dicanangkan oleh Ibnu Rusyd (pada abad kesebelas) tetap menjadi faktor yang hidup dalam pemikiran Eropa sampai lahirnya ilmu eksperimental modern."1 Sejak abad kedelapan, orang-orangArab telah mengkaji dan menyesuaikan pemikiran Yunani dengan pemikiran mereka sendiri. Seperti orang-orang Barat pada masa selanjutnya, mereka semua bekerja berdasarkan buku semata-mata, dengan asumsi bahwa sebuah buku bisa memuat keseluruhan ajaran.
Ibnu Rusyd menegaskan hak seorang pemikir untuk menyerahkan segala sesuatu pada kemampuan akal, kecuali hal-hal yang berkaitan dengan supranaturalisme. Ia adalah seorang dokter, komentator Aristoteles dan seorang astronom. Ia juga mempelajari musik, yang tertuang dalam sebuah monograf (laporan tertulis) yang diterbitkan berkaitan dengan komentar terkenalnya atas karya Aristoteles dan diajarkan di Paris, setelah disensor oleh gereja. Sarjana Cordoba ini dikenal sebagai Averroes di Barat dan ia mempunyai pengaruh luar biasa terhadap para pemikir Yahudi. Seperti gurunya, Ibnu Tufail, ia telah menurunkan suatu sistem Sufi yang sejalan dengan sistem filosofis yang diperbolehkan. Ibnu Tufail (di Barat dikenal dengan Abubacer, sesuai dengan nama pertamanya, Abu Bakr) juga seorang ahli fisika, filosuf dan terutama seorang wazir di Pengadilan Granada. Ia menulis roman luar biasa yang berjudul Cerita tentang Hayy bin Yaqzan. Menurut para mahasiswa Barat, karya ini merupakan cikal-bakal dari cerita Robinson Crusoe. Sementara Alexander Selkirk sekadar berperan sebagai pelempar berita dengan menentukan topiknya. Karya ini didasarkan atas sebuah cerita dari Ibnu Sina (980-1037), yang ajarannya hampir seluruhnya bersifat filosofis. Ia juga seorang dokter, filosuf dan ilmuwan. Tetapi Ibnu Sina sendiri mengikuti jejak filosuf besar lainnya, yaitu al-Farabi (Alfarabius), yang gagasan Sufistiknya telah dicap sebagai Neoplatonik. Ia meninggal lebih dari dari seribu tahun yang lalu.
Setelah melalui Abad Pertengahan (abad V-XV M) yang gelap dengan ajaran gereja yang dominan, Barat mulai menggeliat dan bangkit dengan Renaissance, yakni suatu gerakan atau usaha –yang berkisar antara tahun 1400-1600 M– untuk menghidupkan kembali kebudayaan klasik Yunani dan Romawi.آ Berbeda dengan tradisi Abad Pertengahan yang hanya mencurahkan perhatian pada masalah metafisik yang abstrak, seperti masalah Tuhan, manusia, kosmos, dan etika, Renaissance telah membuka jalan ke arah aliran Empirisme. William Ockham (1285-1249) dengan filsafat Gulielmus-nya yang mendasarkan pada pengenalan inderawi, telah mulai menggeser dominasi filsafat Thomisme, ajaran Thomas Aquinas yang menonjol di Abad Pertengahan, yang mendasarkan diri pada filsafat Aristoteles. Ide Ockham ini dianggap sebagai benih awal bagi lahirnya Renaissance.
Semangat Renaissance ini, sesungguhnya terletak pada upaya pembebasan akal dari kekangan dan belenggu gereja dan menjadikan fakta empirik sebagai sumber pengetahuan, tidak terletak pada filsafat Yunani itu sendiri. Dalam hal ini Barat hanya mengambil karakter utama pada filsafat dan seni Yunani, yakni keterlepasannya dari agama, atau dengan kata lain, adanya kebebasan kepada akal untuk berkreasi. Ini terbukti antara lain dari ide beberapa tokoh Renaissance, seperti Nicolaus Copernicus (1473-1543) dengan pandangan heliosentriknya, yang didukung oleh Johanes Kepler (1571-1630) dan Galileo Galilei (1564-1643) . Juga Francis Bacon (1561-1626) dengan teknik berpikir induktifnya, yang berbeda dengan teknik deduktif Aristoteles (dengan logika silogismenya) yang diajarkan pada Abad Pertengahan.آ آ Jadi, Barat tidak mengambil filsafat Yunani apa adanya, sebab justru filsafat Yunani itulah yang menjadi dasar filsafat Kristen pada Abad Pertengahan, baik periode Patristik (400-1000 M) dengan filsafat Emanasi Neoplatonisme yang dikembangkan oleh Augustinus (354-430), maupun periode Scholastik (1000 - 1400 M) dengan filsafat Thomisme yang bersandar pada Aristoteles. Semua filsafat Yunani ini membahas metafisika, tidak membahas fakta empirik sebagaimana yang dituntut oleh Renaissance. Jadi, semangat Renaissance itu tidak bersumber pada filsafat Yunaninya itu sendiri, tetapi pada karakternya yang terlepas dari agama.
Renaissance juga diperkuat adanya Reformasi, sebuah upaya pemberontakan terhadap dominasi gereja Katholik yang dirintis oleh Marthin Luther di Jerman (1517). Gerakan ini bertolak dari korupsi umum dalam gereja –seperti penjualan Surat Tanda Pengampunan Dosa (Afllatbrieven)–, penindasannya yang telanjang, dan dominasinya terhadap negara-negara Eropa. Meskipun Reformasi tidak secara langsung ikut memperjuangkan apa yang disebut “pembebasan akal”, tetapi gerakan ini secara tak sadar telah memperkuat Renasissance dengan mempelopori kebebasan beragama (Protestan) danآ telah memperlemah posisi Gereja dengan memecah kekuatan Gereja menjadi dua aliran; Katholik dan Protestan. Kritik-kritik terhadap Injil di Jerman sekitar abad XVII juga dianggap implikasi tak langsung dari adanya Reformasi. Meskipun demikian, Gereja Katholik dan tokoh Reformasi memiliki sikap sama terhadap upaya Renaissance, yakni menentang ide-ide yang tidak sesuai dengan Injil. Calvin, seorang tokoh Reformasi di Jenewa (Swiss), mendukung pembakaran hidup-hidup terhadap Servetus dari Spanyol (1553), yang menentang Trinitas. Gereja Katholik dan Reformasi juga sama-sama menolak ide Copernicus (1543) tentang matahari sebagai pusat tatasurya, seraya mempertahankan doktrin Ptolemeus yang menganggap bumi sebagai pusat tatasurya.
Pada abadآ XVII, perkembangan Renaissance telah melahirkan dua aliran pemikiran yang berbeda : aliran Rasionalisme dengan tokoh-tokohnya seperti Rene Descartes (1596-1650), Baruch Spinoza (1632-1677), dan Pascal (1623-1662), dan aliran Empirisme dengan tokoh-tokohnya Thomas Hobbes (1558-1679), John Locke (1632-1704).آ Rasionalisme memandang bahwa sumber pengetahuan yang dapat dipercaya adalah rasio (akal), sedang Empirisme beranggapan bahwa sumber pengetahuan adalah empiri, atau pengalaman manusia dengan menggunakan panca inderanya.
Kemudian datanglah Masa Pencerahan (Aufklarung) pada abad XVIII yang dirintis oleh Isaac Newton (1642-1727), sebagai perkembangan lebih jauh dari Rasionalisme dan Empirisme dari abad sebelumnya. Pada abad sebelumnya, fokus pembahasannya adalah pemberian interpretasi baru terhadap dunia, manusia, dan Tuhan. Sedang pada Masa Aufklarung, pembahasannya lebih meluas mencakup segala aspek kehidupan manusia, seperti aspek pemerintahan dan kenegaraan, agama, ekonomi, hukum, pendidikan dan sebagainya.
Bertolak dari prinsip-prinsip Empirisme John Locke, George Berkeley (1685-1753) mengembangkan “immaterialisme”, sebuah pandangan yang lebih ekstrim daripada pandangan John Locke. Jika Locke berpandangan bahwa kita dapat mengenal esensi sebenarnya (hakikat) dari fenomena material dan spiritual, Berkeley menganggap bahwa substansi-substansi material itu tidak ada, Yang ada adalah ciri-ciri yang diamati.آ Pandangan Locke dan Berkeley dikembangkan lebih lanjut oleh David Hume (1711-1776), dengan dua ide pokoknya; yakni tentang skeptisisme (keragu-raguan) ekstrim bahwa filsuf itu mampu menemukan kebenaran tentang apa saja, dan keyakinan bahwa “pengetahuan tentang manusia” akan dapat menjelaskan hakikat pengetahuan yang dimiliki manusia.
Selain George Berkeley dan David Hume, Immanuel Kant (1724-1804) juga dianggap salah seorang tokoh Masa Pencerahan. Filsafat Kant disebut Kritisisme, yakni aliran yang mencoba mensintesiskan secara kritis Empirisme yang dikembangkan Locke yang bermuara pada Empirisme Hume, dengan Rasionalisme dari Descartes. Kant mulai menelaah batas-batas kemampuan rasio, berbeda dengan dengan para pemikir Rasionalisme yang mempercayai kemampuan rasio bulat-bulat. Namun demikian, Kant juga mempercayai Empirisme. Walhasil dia berpandangan bahwa semua pengetahuan mulai dari pengalaman, namun tidak berarti semua dari pengalaman. Obyek luar ditangkap oleh indera, tetapi rasio mengorganisasikan bahan-bahan yang diperoleh dari pengalaman tersebut.
Pada abad XIX, filsafat Kant tersebut dikembangkan lebih lanjut di Jerman oleh J. Fichte (1762-1814), F. Schelling (1775-1854) dan Hegel (1770-1831). Namun yang mereka kembangkan tidaklah filsafat Kant seutuhnya, tetapi lebih memprioritaskan ide-ide, yakni tidak memfokuskan pada pembahasan fakta empirik. Karenanya, aliran mereka disebut dengan Idealisme. Dari ketiganya, Hegel merupakan tokoh yang menonjol, karena banyak pemikir pada abad ke-19 dan ke-20 yang merupakan murid-muridnya, baik langsung maupun tidak. Mereka terbagi dalam dua pandangan, yaitu pengikut Hegel aliran kanan yang membela agama Kristen seperti John Dewey (1859-1952), salah seorang peletak dasar Pragmatisme yang menjadi budaya Amerika (baca : Kapitalisme) saat ini, dan pengikut Hegel aliran kiri yang memusuhi agama, seperti Feuerbach, Karl Marx, dan Engels dengan ide Materialisme yang merupakan dasarآ ideologi Komunisme di Rusia.
Empirisme itu sendiri pada abad XIX dan XX berkembang lebih jauh menjadi beberapa aliran yang berbeda, yaitu Positivisme, Materialisme, dan Pragmatisme.
Positivisme dirintis oleh August Comte (1798-1857), yang dianggap sebagai Bapak ilmu Sosiologi Barat. Positivisme sebagai perkembangan Empirisme yang ekstrim, adalah pandangan yang menganggap bahwa yang dapat diselidiki atau dipelajari hanyalah “data-data yang nyata/empirik”, atau yang mereka namakan positif. Nilai-nilai politik dan sosial menurut Positivisme dapat digeneralisasikan berdasarkan fakta-fakta yang diperoleh dari penyelidikan terhadap kehidupan masyarakat itu sendiri. Nilai-nilai politik dan sosial juga dapat dijelaskan secara ilmiah, dengan mengemukakan perubahan historis atas dasar cara berpikir induktif. Jadi, nilai-nilai tersebut tumbuh dan berkembang dalam suatu proses kehidupan dari suatu masyarakat itu sendiri.
Materialisme adalah aliran yang menganggap bahwa asal atau hakikat segala sesuatu adalah materi. Di antara tokohnya ialah Feuerbach (1804-1872), Karl Marx (1818-1883) dan Fredericht Engels (1820-1895). Karl Marx menerima konsep Dialektika Hegel, tetapi tidak dalam bentuk aslinya (Dialektika Ide). Kemudian denganآ mengambil Materialisme dari Feuerbach, Karl Marx lalu mengubah Dialektika Ide menjadi Dialektika Materialisme, sebuah proses kemajuan dari kontradiksi-kontradiksi tesis-antitesis-sintesis yang sudah diujudkan dalam dunia materi. Dialektika Materialisme lalu digunakan sebagai alat interpretasi terhadap sejarah manusia dan perkembangannya. Interpretasi inilah yang disebut sebagai Historis Materialisme, yang menjadi dasar ideologi Sosialisme-Komunisme (Marxisme).
Semua nama ini adalah bagian vital dari warisan pemikiran modern. Menurut sebagian besar orang, reaksi menentang upaya-upaya Abad Pertengahan untuk membentuk suatu gagasan tentang kehidupan dan kreasi yang koheren tidak memberikan sesuatu yang lebih baik kepada kita selain kesiapan yang berlebihan untuk mempercayai segala sesuatu. Pikiran ilmuwan yang kritis, penuh keinginan terhadap penemuan, akhir-akhir ini diakui sebagai suatu sikap terlalu ambisius. Ilmuwan yang harus menjaga pikiran dan konsentrasinya terpaku pada suatu bidang kajian yang semakin menyempit, sebenarnya berada dalam keadaan rawan, dan sekarang ia mengakuinya. Ia justru terlalu terpusat atau terlalu lebur. Kadangkala perkembangan intelektualnya menang dengan mengorbankan penyesuaian emosionalnya. Bahaya ini telah lama tampak bagi para Sufi yang tertarik pada karya ilmiah.
Sampai sekarang taradisi keilmuan barat sangat mewarnai tradisi pemikiran di seluruh dunia, banyak intelektual barat yang mempunyai jasa dan pengaruh yang besar terhadap pembangunan tradisi intelektual. Kita pasti mengenal Issac Newthon
Mengembalikan kejayaan Islam

Ada beberapa persoalan pada saat ini untuk kembali menuju kepada kejayaan tradisi intelektual islam
Imam Suprayogo memberikan analisis yang mungkin dapat diajukan berkenaan dengan hal tersebut, di antaranya adalah :
Pertama, bahwa pemikiran-pemikiran Islam yang berkembang selama ini dianggap ketinggalan zaman, sehingga kurang menarik bagi mahasiswa di perguruan tinggi Islam. Analisis semacam ini telah banyak dilontarkan oleh para pemikir pembaharu dalam Islam seperti Fazlur Rahman, Hasan Hanafi, Muhammad Arkoun dan sebagainya.
Kedua, masih terbayangi ketakutan di kalangan para pemikir Islam untuk melakukan modernisasi dan reformulasi pemikiran keislaman. Munculnya perdebatan panjang antara kaum modernis dan kaum tradisionalis adalah fakta yang menunjukkan adanya ketakutan itu. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika hingga saat ini umat Islam masih disibukkan pada perdebatan berkenaan dengan masalah ini, sehingga melupakan hal-hal lain yang lebih subtansial dan besar.
Ketiga, meminjam istilah dalam Psikologi Abnormal, umat Islam tampaknya sedang mengidap syndrome of inferiority complex. Di kalangan umat Islam saat ini banya mengidap penyakit kurang percaya diri dan pesimistis, sebagai akibat adanya kemunduran dan peradaban Islam dibandingkan dengan peradaban Barat yang lebih maju. Hal ini yang menyebabkan mereka merasa lebih bangga jika mengambil semangat dan tradisi pemikiran Barat yang cenderung bersifat sekuler, dan malah sebaliknya, mereka meninggalkan tradisi pemikiran dalam Islam.
Disamping itu persoalan umum yang kini sedang dihadapi oleh bangsa-bangsa yang mayoritas berpenduduk Islam adalah ketertinggalan dari negara-negara maju dalam memproduksi naskah dan mengakses perkembangan-perkembangan baru dunia keilmuan. Bahkan negara-negara berpenduduk mayoritas Islam cenderung hanya menjadi konsumen dari produk-produk keilmuan yang dihasilkan oleh negara maju. Ironisnya lagi, ritme keilmuan yang berkembangpun mengikuti irama yang dikendalikan oleh negara-negara maju tersebut. Kini sudah saatnya membangkitkan kembali tradisi kelimuan yang dulu pernah berkembang di dunia Islam. Dengan demikian dapat mengimbangi produktivitas negara-negara maju dalam memproduksi berbagai kebutuhan keilmuan dan teknologi sendiri tanpa menggantungkan kepada mereka.
Untuk mencapai impian tersebut maka para sarjana dan intelektual Islam perlu bekerja keras dalam mewujudkan tradisi keilmuan yang dinamis dan harmonis. Permasalahan mendasar seperti pengadaan buku referensi perlu diperbanyak, aktivitas penelitian perlu digalakkan dan buku-buku yang ada di perpustakaan perlu dimaksimalisasi disertai dengan aktivitas-aktivitas diskusi di setiap ruang dan sudut-sudut perpustakaan. Menggairahkan kembali tradisi menulis di kalangan para sarjana dan ulama. Banyak para ulama kita yang secara keilmuan sangat memadai namun sayang sebagian mereka memiliki kesulitan dalam menuangkan gagasan-gagasannya dalam bentuk tulisan. Demikian pula karya-karya buku yang dihasilkan sudah waktunya diterjemahkan ke dalam bahasa asing supaya menyebar dan dapat dibaca oleh dunia internasional.
Meskipun dari sisi financial akan mengalami banyak kendala namun perlu dipikirkan bersama agar pemikiran-pemikiran para ilmuan kita tetap dapat diakses oleh masyarakat terlebih masyarakat internasional. Kita banyak mendengar kisah para ilmuwan Barat yang rela menghabiskan uang bagitu banyak hanya untuk mencari sebuah manuskrip atau buku. Mereka tidak terlalu berhitung seberapa besar uang yang ia keluarkan demi memenuhi kebutuhan kelimuannya. Kegigihan dan kesungguhan dalam memenuhi kebutuhan keilmuan seperti ini mesti kita tumbuhkan di kalangan sarjana-sarjana muslim. Dengan demikian, harapan untuk membangkitkan kembali tradisi keilmuan dalam dunia Islam tidak lagi menjadi impian tetapi dapat kita nikmati hasilnya.
Ungkapan Abu Hasan Ali al-Nadwi patut kita renungkan, baginya ilmuwan yang baik adalah yang menulis untuk generasinya dan generasi kemudian. Para ulama dan ilmuwan menulis buku bukan untuk dirinya atau meraup keuntungan sesaat tetapi untuk generasi kini dan generasi mendatang. Proses regenerasi dan transformasi keimuan ini mungkin memakan waktu yang cukup lama daripada usia seseorang atau ratusan tahun. Oleh karena itu, sudah saatnya ilmuwan Islam menyemarakkan sekaligus mewariskan tradisi keilmuan kepada generasi mendatang supaya mereka dapat meneruskan langkah besar ini.
Dalam membangkitkan tradisi keilmuan, tidak cukup hanya membangun aspek fisik bangunan lembaga pendidikan dengan segala fasilitasnya semata, tapi yang tak kalah pentingnya adalah membangun sikap mental individu. Upaya penting yang mesti segera dilakukan adalah membangkitkan kesadaran masyarakat secara umum dalam menghargai ilmu dan budaya membaca yang tinggi, sebab dalam membaca buku inilah pintu pengetahuan itu terbuka. Beragam informasi-informasi baru bisa didapat. Persoalannya saat ini minat baca masyarakat kita masih rendah. Hal ini dapat kita lihat dari kebiasaan sehari-hari masyarakat kita yang kerapkali menghabiskan waktu kosongnya untuk hal-hal yang tidak produktif. Seperti kebiasaan menunggu kendaraan hanya untuk melamun. Mengisi waktu dalam perjalanan untuk tidur dalam kendaraan, dan sebagainya. Waktu-waktu kosong seperti ini dapat dimanfaatkan untuk membaca majalah, Koran, ataupun buku.
Disamping itu perkembangan teknologi sudah selayaknya dapat dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya khususnya dalam meningkatkan tradisi keilmuan. Melalui media internet, kita dapat memperoleh beragam ilmu dan bahan-bahan kajian dari para ilmuwan seluruh dunia dengan mudah dan cepat. Karenanya sudah seharusnya lembaga-lembaga pendidikan melengkapi fasilitas pendidikannya dengan fasilitas internet agar sarjana-sarjana kita tidak tertinggal dengan sarjana-sarjana di negara-negara lain.
Penutup

Tradisi intelektual terjadi dimana-mana, tiap bangsa mempunyai tradisi terendiri, baik itu tradisi yang dikembangkan oleh barat maupun yang dikembangkan oleh orang-orang islam.
Dan persoalan yang paling penting untuk keterangsungan ebuah tradisi intelektual dan kebudayaan adalah menyiapkan generasi lanjut dengan meninggalkan warisan berupa kebudayaan dan tulisan yang dapat dijadikan bahan rujukan untuk pengembangan tradisi keilmuan bagi generasi selanjtnya.

Jumat, 21 Maret 2008

kajian

Haramkan Maulid Berarti Memaki Shalahuddin al-Ayyubi

Mantan ketua umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mengecam kelompok atau golongan tertentu yang mengharamkan peringatan Maulid Nabi Muhammad. Menurutnya, hal itu sama saja dengan memaki atau menghina Shalahuddin al-Ayyubi—Sultan Mesir dan Syria sekaligus muslim pertama yang menyelenggarakan Maulid Nabi.

“Kalau ada yang mengharamkan Maulid, ya sama saja memaki-maki Shalahuddin al-Ayyubi. Ya, silakan saja,” ujar mantan presiden RI itu saat menjadi narasumber pada acara Kongkow Bareng Gus Dur, di Green Radio, Jalan Utan Kayu No. 68 H Jakarta, akhir pekan lalu.

Menurut Gus Dur, Sultan Shalahuddin al-Ayyubi yang juga pendiri Dinasti Ayyubiyah di Mesir, Suriah, sebagian Yaman, Irak, Mekah Hejaz dan Diyar Bakr, itu menyelenggarakan Maulid untuk menyemangati kaum muslimin yang tengah berperang melawan pasukan Kristen dalam Perang Salib.

Dengan demikian, katanya, tidak semua yang tidak ada pada masa Nabi adalah bid’ah (mengada-ada dalam beribadah) dan haram hukumnya. “Kalau begitu (bid’ah dan haram), kita jangan pakai celana. Pada zaman Nabi Muhammad, celana itu nggak ada. Sepatu dan sepeda juga nggak ada. Masa, sih, naik sepeda saja bid’ah?” imbuhnya.

Ketua Umum Dewan Syura DPP Partai Kebangkitan Bangsa itu berpendapat, agama memang bersifat mengikat pemeluknya karena menyangkut keyakinan, yaitu keyakinan terkait adanya Tuhan Yang Maha Esa dan Nabi Muhammad sebagai utusan-Nya. Sedangkan budaya, ujarnya, itu buatan manusia sendiri.

Minggu, 16 Maret 2008

WAJAHQ


RENUNGAN

Tradisi Intektual Pendidikan pada masa kejayaan Islam

( Daulah Abbasiyah)


I. Pendahuluan


Masa kekuasaan Abbasiyah adalah zaman keemasan peradaban (pendidikan) Islam yang berpusat di Bagdad yang berlangsung selama kurang lebih lima abad (750-1258 M), selain itu ada satu lagi kerajaan yang cukup menonjol dalam sejarah keemasaan Islam adalah kerajaan Umayyah di Spanyol yang berlangsung kurang lebih delapan Abab (711-1492). Masing-masing berpusat di Bagdad dan Cordova, dua tempat ini mewakili kejayaan negara Islam di Timur dan negara Islam di Barat.

Pembahasan topik ini cukup menarik mengingat pada masa ini adalah masa kejayaan Islam dalam bidang keilmuan, disamping kehebatan sistem politik, kemiliteran dan lain sebagainya yang kesemuanya kita bisa mengambil pelajaran dari sejarah ini. Untuk kepentingan pendidikan kita terfokus kepada keberhasilan tokoh-tokoh Islam dalam menjelajah keilmuan dan dengan karya-karyanya mereka, mulai dari aliran, fiqh, tafsir, ilmu hadits teologi, filsafat sampai kepada bidang keilmuan umum seperti matematika, astronomi, satra sampai kepada ilmu kedokteran. Tentunya kita masih ingat tokoh empat imam madhab, Ibnu Sina, Zakaria ar-Razi, Ibnu Maskawaih, al-Farabi, al-Kindi, dan sebagainya, mereka semua hidup pada masa ini.

II. Latar Belakang Sosial politik Masa Keemasan Islam

Kehidupan soial politik dalam islam dimulai pada masa Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam di Madinah ketika melakukan dakwahnya. Nabi berhasil membentuk masyarakat Madinah sebagai negara kota (city state), di mana saat itu Madinah terdiri dari berbagai kelompok masyarakat; Nasrani, kaum Anshar, kaum Muhajirjn dan ada juga dari mereka yang menyembah berhala (paganis). Melihat kenyataan masyarakat Madinah yang sangat plural itu, Nabi menganggap penting membentuk suatu ikatan sosial yang kokoh dan kuat dalam bentuk sebuah perjanjian, yang kemudian dikenal dengan Piagam Madinah. Dalam Piagam ini, Nabi menekankan arti penting konsep mengenai "ummah". Konsep ini tidak hanya memungkinkan pentingnya kehidupan yang menghargai pluralitas, akan tetapi menempatkan Islam sebagai rahmatan lil'alamin bagi kelangsungan kehidupan umat manusia di muka bumi ini. Menurut Montgomery Watt, istilah "ummah" berasal dari bahasa Ibrani yang berarti suku bangsa atau bisa juga berarti masyarakat.

Namun demikian, perjalanan sejarah Islam dihadapkan pada sebuah kenyataan yang memilukan. Di balik kesuksesan Piagam Madinah, perkembangan politik lokal Madinah menemukan konfigurasi yang sama sekali tidak terduga, yakni tampilnya kelompok-kelompok yang berupaya menggagalkan perjuangan Nabi, seperti kelompok separatis kaum Yahudi –Bani Qainuqa', Bani Nadhir dan Bani Quraidhah– yang menyatakan ketidaksetiaannya terhadap konstitusi yang disetujui bersama. Gerakan mereka cenderung oposan dengan melakukan koalisi bersama Quraisy Makkah dalam menghadapi kekuatan Nabi.

Selain peristiwa itu, terutama pasca Nabi wafat, banyak bermunculan persoalan-persoalan keumatan yang mesti diselesaikan. Misalnya masalah pertama dan pelik yang timbul adalah masalah kepemimpinan Islam (khalifah) berkenaan dengan siapa yang berhak menggantikan Nabi dalam kedudukannya sebagai kepala pemerintahan di Madinah dan tata cara yang ditempuh dalam proses penggantian tersebut. Karena disadari sejak awal bahwa Nabi memang tidak pernah menggariskan tata cara atau sistem yang baku dan menjadi rujukan dalam pengangkatan seorang pemimpin. Di samping itu, dalam pergaulan sosialnya, Nabi hanya memberikan tauladan dalam membangun masyarakat dengan upaya membumikan nilai-nilai keagamaan (Islam) dalam kehidupan kesehariannya. Nabi sama sekali hanya bergerak secara kultural. Ia tidak memanfaatkan legitimasi kekuatan kultural tersebut demi kemenangan strukturalnya menjadi pemimpin komunitas sosial keagamaan. Dalam menghadapi setiap persoalan, Nabi selalu melakukan musyawarah dengan melibatkan para sahabatnya.

Dengan melihat setting sosio-antropologis Nabi yang demikian itulah, dalam pengambilan kebijakan mengenai pengganti kepemimpinan Nabi wafat dilakukan melalui musyawarah mufakat. Dalam proses musyawarah tersebut, Abu Bakar akhirnya disepakati menjadi khalifah sebagai pengganti kepemimpinan Nabi. Meskipun melalui perdebatan yang sengit dalam permusyawaratan di Saqifah Bani Sa'idah, masing-masing pihak dari kalangan Muhajirin dan Anshar tetap berada dalam visi yang sama yakni mewujudkan kehidupan manusia yang berperadaban. Argumentasi-argumentasi yang dikemukakan kaum Muhajirin yang mengatakan “Kami pemimpin dan kalian semua adalah wazirnya” dan kalangan kaum Anshar yang menyatakan “Dari kami seorang pemimpin dan dari kamu juga seorang pemimpin” hanya sebatas pada ego yang bersifat lahiriyah semata. Mereka pada kenyataannya tengah memberikan suatu model tersendiri dalam membangun budaya demokratisasi dalam proses pemilihan tersebut. Dengan terpilihnya Abu Bakar secara demokratis untuk ukuran saat itu, kemudian ia di-bai’at oleh para sahabat sebagai khalifah pertama. Selama masa pemerintahannya yang kurang lebih dua tahun (11-13H/632-634M), kebijakan-kebijakan yang ditempuhnya kebanyakan dikonsentrasikan pada upaya penyelesaian persoalan-persoalan dalam negeri terutama tantangan dari suku-suku Arab yang enggan tunduk pada sistem pemerintahan Madinah.

Sementara itu dalam pemilihan Umar bin Khattab yang terpilih menjadi pengganti Abu Bakar, proses pemi­lihan mengalami perubahan dari yang sebelumnya bersifat terbuka. Terpilihnya Umar bin Khattab menjadi khalifah ternyata melalui penunjukan langsung Abu Bakar dan kemudian disetujui oleh kalangan sahabat senior serta dilanjutkan pembaitan secara umum. Prosesi yang berlangsung seperti ini dalam kenyataannya, telah mengundang kontroversi sekaligus menjadi ajang agitasi dan saling manjatuhkan. Misalnya terdapat sahabat yang kurang sependapat dengan usul Abu Bakar, seperti Abd al-Rahman bin 'Auf. Ia mengungkapkan ketidaksetujuannya dengan menghubungkan pada persoalan teologis “Demi Allah, Umar adalah orang yang terbaik di mata engkau, namun ia memiliki sikap yang keras.” Terhadap sanggahan Abd al-Rahman bin 'Auf ini, Abu Bakar melakukan pendekatan dan berusaha meyakinkannya melalui pernyataan “Umar berbuat demikian itu karena melihatku lunak, jika jabatan itu sudah diserahkan kepadanya, maka ia akan meninggalkan sikap keras tersebut”. Kesan Umar yang sering menampilkan sikap keras dan tegas itu, merupakan watak dan kepribadiannya. Sementara itu Asir bin Khudair yang pro dengan kepemimpinan Umar memaklumi bahwa sikap keras dan tegas Umar yang sering terlihat, itu dilakukannya lantaran sesuai dengan tuntutan keadaan.

Berbeda dengan prosesi pemilihan Umar bin Khattab, terpilihnya Usman bin Affan sebagai khalifah ketiga yaitu melalui dewan pemilih yang terdiri dari tujuh orang sahabat terkemuka yang dipilih atas saran Umar bin Khattab. Mereka itu antara lain Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Sa'ad bin Abi Waqas, Abd al-Rahman bin Auf, Zubair bin Awwam,Thalhah bin Ubaidillah, dan Abdullah bin Umar. Mereka bermusyawarah untuk memilih siapa di antara mereka yang disepakati bersama untuk menjadi khalifah pengganti Umar. Mereka akhirnya menemukan kata sepakat, dengan memilih Usman bin Affan sebagai pengganti khalifah sebelumnya. Usman yang memerintah (23-35H/644-656 M), dalam kurun 6 tahun terakhir pemerintahannya ia dituduh bersikap nepotism. Usman dituduh juga bersikap kolusi, selain karena ia mengangkat kalangan keluarganya dalam menduduki jabatan strategis, seperti mengangkat Abdullah bin Sa'ad bin Abi Sarh saudara angkatnya, menjadi gubernur Mesir, menggantikan Amer bin Ash yang diangkat Umar bin Khattab, Usman cenderung mengambil kebijakan tanpa memperhatikan kepentingan yang bersifat makro. Misalnya, mengangkat Abdullah bin Amr saudara sepupu, menjadi gubernur Basrah. Mengangkat Sa'ad bin Ash, saudara sepupunya menjadi gubernur di Kufah. Juga mengangkat Marwan bin Hakam, saudara sepupunya menduduki penasehat pribadi dan sekretaris negara. Tuduhan nepotis yang dilancarkan kepada Usman bin Affan tersebut, dampaknya menimbulkan iklim distabilitas di seantero wilayah, dan klimaksnya menyulut pemberontakan di Madinah yang menyebabkan Usman bin Affan terbunuh.

Tata cara pengangkatan Umar bin Khattab menjadi khalifah melalui nominasi tunggal sebagai putra mahkota, dan tata cara pengangkatan Usman bin Affan menjadi khalifah melalui otoritas dewan pemilih (electoral colledge), kemudian dijadikan teori politik oleh Al-Mawardi (364-450 H) seorang teoritikus politik terkenal di kalangan sunni. Menurut al-Mawardi ada dua cara mengenai pengangkatan kepala negara. Pertama, melalui otoritas ahl al-halli wa al aqdi (electoral colledge). Kedua, melalui penunjukan oleh khalifah sebelumnya dengan mengangkat putra mahkota.

Namun demikian, terdapat beberapa permasalahan yang muncul berkaitan dengan dua teori yang dikemukakan al-Mawardi tersebut. Jika seorang khalifah menunjuk penggantinya sebagai putra mahkota, apakah perlu legitimasi dari ahl al-halli wa al-aqdi?. Dalam hal ini al-Mawardi lebih memilih tidak perlu adanya persetujuan dari ahl al-halli wa al-aqdi. Tampaknya al-Mawardi lebih cenderung menguatkan teori pengangkatan putra mahkota daripada pilihan dewan electoral colledge untuk suksesi sebuah kepemimpinan negara. Dari sisi inilah ia dapat dikritik, bahwa sesungguhnya ia tidak pernah melahirkan sebuah teori politik, melainkan teori legitimasi kekuasaan. Hal itu dapat dimaklumi, karena dalam kata pengantar karyanya itu tertera sebuah pengakuan yang jujur “… untuk itu aku tulis karya ini memenuhi permintaan orang yang aku terikat loyalitas kepada dirinya”. Dari ungkapan al-Mawardi ini, nampak secara jelas bahwa al-Mawardi cenderung menafikan musyawarah. Di samping itu, apa pun kritik yang dilontarkan kepadanya, al-Ahkam al-Sultaniyyah yang ditulis al-Mawardi telah berpengaruh luas dan abad demi abad menjadi rujukan tetap kalangan pemikir politik Islam.

Setelah Usman bin Affan wafat, kemudian Ali bin Abi Thalib terpilih sebagai khalifah melalui pilihan umat dalam situasi yang tidak normal, akibat pemberontakan yang terjadi pada masa Usman bin Affan yang berakhir dengan terbunuhnya Khalifah Usman. Dapat dimaklumi bahwa terpilihnya Ali sebagai khalifah oleh umat saat itu tidak dengan suara bulat, karena ternyata ada aspirasi-aspirasi politik yang kemudian timbul menentangnya. Namun demikian asas musyawarah dalam pemilihan Ali menjadi kha­lifah tetap berjalan dan dilakukan sebagaimana mestinya. Setelah terpilih Ali dan kemudian dibaiat oleh segenap sahabat yang berada di Madinah, ia memerintah (35-40 H/ 656-661 M) selama 4 tahun 9 bulan. Pada masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib, sikap Asabiyah lama muncul kembali dari tiap-tiap golongan. Permusuhan dan persaingan lama semenjak zaman jahiliyah antara Bani Hasyim dan Bani Umaiyah timbul kembali, bahkan semakin hari semakin membara, yang kemudian menimbulkan perang Jamal dan perang Siffin. Dampaknya mengakibatkan Ali bin Abi Thalib terbunuh. Setelah khalifah Ali bin Abi Thalib meninggal, maka berakhirlah periode pemerintahan al-Khulafa al-Rasyidun selama (11-40 H /632-661 M).

Dengan berakhirnya pemerintahan al-Khulafa al-Rasyidun, sejarah kepemimpinan Islam beralih pada sistem monarkhi yang menempatkan dinasti Umayah sebagai pemenang peradaban Islam. Prosesi yang jauh berbeda dengan masa al-Khulafa al-Rasyidun itu, prinsip-prinsip dan tradisi musyawarah menjadi terabaikan. Kekhalifahan beralih menjadi sistem kerajaan yang diwarisi secara turun temurun. Muawiyah bin Abi Sufyan sebagai peletak dasar dan arsitek berdirinya Dinasi Umayah merupakan orang pertama dalam sejarah Islam yang bertanggung jawab atas mundurnya wacana demokratrisasi dalam Islam. Pada masa al-Khulafa al-Rasyidun, karakteristik kehidupan masyarakat Arab seperti kesederhanaan, semangat persamaan dan tiadanya formalitas masih tetap menonjol, pada masa Dinasti Umayah, ciri-ciri tersebut mengalami kepudaran. Fenomena ini setidaknya ditengarai pada sikap Muawiyah bin Abi Sufyan yang mengangkat pembantu utama dan penasehatnya (wazir) dengan mengesampingkan aspek profesionalitas. Berbagai formalitas peraturan protokoler mulai diadakan, seperti misalnya jabatan hajib yang bertugas mengatur pertemuan atau audiensi dengan khalifah.

Tradisi pemerintahan monarkhi pada masa Dinasti Umayah ini kemudian berlanjut pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah (132-656 H/750-1256 M). Bahkan untuk melegitimasi kekuasaan dan pemerintahan mereka, di kalangan Bani Abbasiyah menggunakan atribut pada kekhilafan mereka suatu sifat sebagai perwakilan Tuhan di bumi. Abu Ja'far al-Mansur (754-775 H) secara resmi memproklamirkan dirinya sebagai Sultan Allah di muka bumi (zillullah fi al-ard).[39] Dengan demikian, pada masa Dinasti Umayah dan Dinasti Abbasiyah, Islam kehilangan karakter liberatif dan demokratisnya dan menjadi bagian dari pemerintahan monarkhi. Bahkan ajaran Islam yang liberatif itu sedikit demi sedikit beralih menjadi pandangan yang fatalistik.

Sebuah masyarakat (Abbasiyah) yang punya kesadaran yang tinggi akan ilmu, hal ini ditunjukan masyarakat yang sangat antusias dalam mencari ilmu, penghargaan yang tinggi bagi para ulama, para pencari ilmu, tempat-tempat menuntut ilmu, banyaknya perpustakaan-perpustakaan pribadi yang dibuka untuk umum dan juga hadirnya perpustakaan Bayt al-Hikmah yang disponsori oleh khalifah pada waktu yang membantu dalam menciptakan iklim akademik yang kondusif. Tak heran jika kita menemukan tokoh-tokoh besar yang lahir pada masa ini. Tradisi intelektual inilah yang seharusnya kita contoh, sebagai usaha sadar keilmuan kita dalam mengejar ketertinggalan dan ini segera lepas dari keterpurukan.

Dalam makalah ini penulis hanya membatasi kepada pembahasan seputar tradisi intelektual pada masa Abbasiyah dengan perpustakaan yang sangat berperan pada masa ini yaitu Madrasah (Bayt- al-Hikmah), bagaimana peran lembaga Bayt- al-Hikmah dalam pengembangan keilmuan, faktor-faktor yang mempengaruhi dan apa saja tradisi keintelektualan yang terjadi pada masa ini(Abbasiyah).

Sekilas Daulah Abbasiyah dan Tradisi Pendidikan

Khilafah Abbasiyah merupakan kelanjutan dari khilafah Umayyah, dimana pendiri dari khilafah ini adalah keturunan Al-Abbas, paman Nabi Muhammad SAW, yaitu Abdullah al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn al-Abbas. Kekuasaan khilafah Abbasiyah berlangsung dalam waktu yang panjang, dari tahun 132 H (750 M) s.d. 656 H (1258 M). Selama dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial dan budaya. Berdasarkan perubahan pola pemerintahan dan politik itu, para sejarawan biasanya membagi masa pemerintahan Bani Abbas menjadi lima periode:

1. Periode Pertama (132 H/750 M-232 H/847 M), disebut periode pengaruh Persia pertama.

2. Periode Kedua (232 H/847 M-334 H/945 M), disebut periode pengaruh Turki pertama.

3. Periode Ketiga (334 H/945 M - 447 H/1055 M), masa kekuasaan dinasti Buwaih dalam pemerintahan khilafah Abbasiyah. Periode ini disebut juga masa pengaruh Persia kedua.

4. Periode Keempat (447 H/1055 M-590 H/l194 M), masa kekuasaan dinasti Bani Seljuk dalam pemerintahan khilafah Abbasiyah; biasanya disebut juga dengan masa pengaruh Turki kedua.

5. Periode Kelima (590 H/1194 M-656 H/1258 M), masa khalifah bebas dari pengaruh dinasti lain, tetapi kekuasaannya hanya efektif di sekitar kota Bagdad.

Pada periode pertama pemerintahan Bani Abbas mencapai masa keemasannya. Secara politis, para khalifah betul-betul tokoh yang kuat dan merupakan pusat kekuasaan politik sekaligus agama. Di sisi lain, kemakmuran masyarakat mencapai tingkat tertinggi. Periode ini juga berhasil menyiapkan landasan bagi perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan dalam Islam. Namun setelah periode ini berakhir, pemerintahan Bani Abbas mulai menurun dalam bidang politik, meskipun filsafat dan ilmu pengetahuan terus berkembang Walaupun dasar-dasar pemerintahan Abbasiyah diletakkan dan dibangun oleh Abu al-Abbas dan Abu Ja'far al-Manshur, tetapi puncak keemasan dari dinasti ini berada pada tujuh khalifah sesudahnya, yaitu :

1) al-Mahdi (775-785 M)

2) al-Hadi (775- 786 M)

3) Harun al-Rasyid (786-809 M)

4) al-Ma'mun (813-833 M)

5) al-Mu'tashim (833-842 M)

6) al-Wasiq (842-847 M)

7) al-Mutawakkil (847-861 M).

Popularitas daulat Abbasiyah mencapai puncaknya di zaman khalifah Harun al-Rasyid (786-809 M) dan puteranya al-Ma'mun (813-833 M). Masa pemerintahan Harun al-Rasyid yang 23 tahun itu merupakan permulaan zaman keemasan bagi sejarah dunia Islam belahan timur, seperti halnya masa pemerintahan Emir Abdulrahman II (206-238 H/822-852 M) di Cordova merupakan permulaan Zaman keemasan dalam sejarah dunia Islam belahan Barat.

Khalifah Harun al-Rasyid memanfaatkan Kekayaannya untuk keperluan sosial. Rumah sakit, lembaga pendidikan dokter, dan farmasi didirikan. Pada masanya sudah terdapat paling tidak sekitar 800 orang dokter. Disamping itu, pemandian-pemandian umum juga dibangun. Kesejahteraan sosial, kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan serta kesusasteraan berada pada zaman keemasannya, lebih–lebih lagi dengan adanya lembaga keilmuan yaitu bayt al-hikmah. Pada masa inilah negara Islam menempatkan dirinya sebagai negara terkuat dan tak tertandingi.

Al-Ma'mun, pengganti al-Rasyid, dikenal sebagai khalifah yang sangat cinta kepada ilmu. Pada masa pemerintahannya, penerjemahan buku-buku asing digalakkan. Untuk menerjemahkan buku-buku Yunani, ia menggaji penerjemah-penerjemah dari penganut agama lain yang ahli. Ia juga banyak mendirikan sekolah, salah satu karya besarnya yang terpenting adalah pembangunan Bait al-Hikmah, pusat penerjemahan yang berfungsi bagaikan perguruan tinggi dengan perpustakaan yang besar dan tempat berkumpul untuk berdiskusi.

Pada masa Al-Ma'mun inilah Baghdad mulai menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan. Al-Mu'tashim, khalifah berikutnya (833-842 M), memberi peluang besar kepada orang-orang Turki untuk masuk dalam pemerintahan, keterlibatan mereka dimulai sebagai tentara pengawal. Tidak seperti pada masa daulat Umayyah, dinasti Abbasiyah mengadakan perubahan sistem ketentaraan. Praktek orang-orang muslim mengikuti perang sudah terhenti. Tentara dibina secara khusus menjadi prajurit-prajurit profesional. Dengan demikian, kekuatan militer dinasti Bani Abbas menjadi sangat kuat.

Dalam kehidupan intelektual (pendidikan) di zaman dinasti Abbasiyah diawali dengan berkembangnya perhatian pada perumusan dan penjelasan panduan keagamaan terutama dari dua sumber utama yaitu al-quran dan Hadits. Dari kedua sumber ini lalu muncullah berbagai keilmuan lainnya. Ilmu-ilmu al-Qur-an dan ilmu-ilmu hadits adalah dua serangkaian seri pengetahuan yag menjadi pokok perhatian dan fokus perhatian waktu itu. Perhatian itu bisa dilihat dengan banyaknya kitab yang ditulis untuk menjelaskan al-Qur'an.

Dari gambaran di atas Bani Abbasiyah pada periode pertama lebih menekankan pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam daripada perluasan wilayah. Inilah perbedaan pokok antara Bani Abbas dan Bani Umayyah. Sebagaimana diuraikan di atas, puncak perkembangan kebudayaan dan pemikiran Islam terjadi pada masa pemerintahan Bani Abbas. Akan tetapi, tidak berarti seluruhnya berawal dari kreativitas penguasa Bani Abbas sendiri Sebagian di antaranya sudah dimulai sejak awal kebangkitan Islam. Dalam bidang pendidikan, misalnya, di awal kebangkitan Islam, lembaga pendidikan sudah mulai berkembang. Ketika itu, lembaga pendidikan terdiri dari dua tingkat :

1) Maktab/Kuttab dan masjid, yaitu lembaga pendidikan terendah, tempat anak-anak mengenal dasar-dasar bacaan, hitungan dan tulisan; dan tempat para remaja belajar dasar-dasar ilmu agama, seperti tafsir, hadits, fiqh dan bahasa.

2) Tingkat pendalaman. Para pelajar yang ingin memperdalam ilmunya, pergi keluar daerah menuntut ilmu kepada seorang atau beberapa orang ahli dalam bidangnya masing-masing. Pada umumnya, ilmu yang dituntut adalah ilmu-ilmu agama. Pengajarannya berlangsung di masjid-masjid atau di rumah-rumah ulama bersangkutan. Bagi anak penguasa pendidikan bisa berlangsung di istana atau di rumah penguasa tersebut dengan memanggil ulama ahli ke sana. Lembaga-lembaga ini kemudian berkembang pada masa pemerintahan Bani Abbas, dengan berdirinya perpustakaan dan akademi. Perpustakaan pada masa itu lebih merupakan sebuah universitas, karena di samping terdapat kitab-kitab, di sana orang juga dapat membaca, menulis dan berdiskusi. Perkembangan lembaga pendidikan itu mencerminkan terjadinya perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan. Hal ini sangat ditentukan oleh perkembangan bahasa Arab, baik sebagai bahasa administrasi yang sudah berlaku sejak zaman Bani Umayyah, maupun sebagai bahasa ilmu pengetahuan.

Kemajuan diraih paling tidak, dipengaruhi beberapa hal di antaranya: Terjadinya asimilasi antara bangsa Arab dengan bangsa-bangsa lain yang lebih dahulu mengalami perkembangan dalam bidang ilmu pengetahuan. Pada masa pemerintahan Bani Abbas, bangsa-bangsa non Arab banyak yang masuk Islam Asimilasi berlangsung secara efektif dan bernilai guna. Bangsa-bangsa itu memberi saham tertentu dalam perkembangan ilmu pengetahuan dalam Islam. Pengaruh Persia, sebagaimana sudah disebutkan, sangat kuat di bidang pemerintahan. Disamping itu, bangsa Persia banyak berjasa dalam perkembangan ilmu, filsafat, sastra serta karya-karya dari Persia juga diterjemahkan. Pengaruh India terlihat dalam bidang kedokteran, ilmu matematika dan astronomi. Sedangkan pengaruh Yunani masuk melalui terjemahan-terjemahan dalam banyak bidang ilmu, terutama filsafat.

Tradisi yang paling berpengaruh dalam menciptakan tradisi keilmuan yang kondusif adalah gerakan penterjemahan. Gerakan terjemahan berlangsung dalam tiga fase.

Fase pertama, pada masa khalifah al-Manshur hingga Harun al-Rasyid. Pada fase ini yang banyak diterjemahkan adalah karya-karya dalam bidang astronomi dan manthiq. Fase kedua berlangsung mulai masa khalifah al-Ma'mun hingga tahun 300 H. Buku-buku yang banyak diterjemahkan adalah dalam bidang filsafat dan kedokteran. Fase ketiga berlangsung setelah tahun 300 H, terutama setelah adanya pembuatan kertas.

Bidang-bidang ilmu yang diterjemahkan semakin meluas. Pengaruh dari kebudayaan bangsa yang sudah maju tersebut, terutama melalui gerakan terjemahan, bukan saja membawa kemajuan di bidang ilmu pengetahuan umum, tetapi juga ilmu pengetahuan agama. Dalam bidang tafsir, sejak awal sudah dikenal dua metode, penafsiran pertama, tafsir bi al-ma'tsur, yaitu interpretasi tradisional dengan mengambil interpretasi dari Nabi dan para sahabat. Kedua, tafsir bi al-ra'yi, yaitu metode rasional yang lebih banyak bertumpu kepada pendapat dan pikiran, daripada hadits dan pendapat sahabat.

Dalam perkembangan pemikiran keilmuan keislaman. kita mengenal Imam-imam mazhab hukum yang empat, mereka semua hidup pada masa pemerintahan Abbasiyah yaitu; Imam Abu Hanifah (700-767 M), Imam Malik (713-795 M), Imam Syafi'i (767-820 M) Imam Ahmad ibn Hanbal (780-855 M). Hal yang sama berlaku pula dalam bidang sastra. Penulisan hadits, juga berkembang pesat pada masa Bani Abbas. Hal itu mungkin terutama disebabkan oleh tersedianya fasilitas dan transportasi, sehingga memudahkan para pencari dan penulis hadits bekerja.

Karya/buku-buku tafsir dari ulama’ yang hidup pada zaman abasiyah adalah kitab al-jami’ al-Bayan yang ditulis at-Tabari (225 H/839 M-310 H/923 M), al-Kasysyaf oleh az-Zamakhsyari (467 H/1075 M-538 H/1144 M), dan Mafatih al-Gaib oleh Fakhruddin ar-Razi (543 H/1149 M-606 H/1189 M). Disamping itu para ulama juga mengumpulkan hadits, seperti; al-Musnad oleh Ahmad bin Hambal (w. 241 H/885 M). pengumpulan enam kitab yang dikenal al-kutub as sittah dpelopori oleh Bukhori (256 H/870 M), Muslim (261 H/875 M), Abu Daud (275 H/888 M), at-Tirmizi (279 H/892 M), an-nisa’i (303 H/915 M), dan Ibnu Majah (273 H/886 M).

Tradisi berdiskusi juga telah berkembang, adanya bayt al-hikmah sebagai tempat berkumpul untuk bertukar pikiran dan berdebat masalah keilmuan membantu dalam menciptakan suasana keilmuan yang kondusif. Dari diskusi, maka muncullah berbagai pemikiran kreatif sampai kepada aliran-aliran pemikiran.

Aliran-aliran teologi sudah ada pada masa Bani Umayyah, seperti Khawarij, Murjiah dan Mu'tazilah. Akan tetapi perkembangan pemikirannya masih terbatas. Teologi rasional Mu'tazilah muncul di ujung pemerintahan Bani Umayyah. Namun, pemikiran-pemikirannya yang lebih kompleks dan sempurna baru dirumuskan pada masa pemerintahan Bani Abbas periode pertama, setelah terjadi kontak dengan pemikiran Yunani yang membawa pemikiran rasional dalam Islam.

Perkembangan Ilmu-ilmu umum bisa dilihat dari, misalnya; ilmu kedokteran (at-Tibb) dengan didukung adanya sekolah khusus kedokteran di Jundishapur. Ilmu matematika, astronomi dikembangkan dengan fasilitas didirikannya observatorium pada masa khalifah al-Ma’mun di Sinjar. Dengan adanya observatorium itu menunjukan adanya tradisi penelitian/ekperimen yang tinggi di bidang ilmu eksak, tradisi ini juga berkembang pada penelitian hadits sehingga muncul berbagai kitab hadits.

Dalam bidang astronomi terkenal nama al-Fazari sebagai astronom Islam yang pertama kali menyusun astrolobe. Al-Fargani, yang dikenal di Eropa dengan nama Al-Faragnus, menulis ringkasan ilmu astronomi yang diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh Gerard Cremona dan Johannes Hispalensis.

Bidang kedokteran dikenal nama al-Razi dan Ibn Sina. Al-Razi adalah tokoh pertama yang membedakan antara penyakit cacar dengan measles. Dia juga orang pertama yang menyusun buku mengenai kedokteran anak. Sesudahnya, ilmu kedokteraan berada di tangan Ibn Sina. Ibn Sina yang juga seorang filosof berhasil menemukan sistem peredaran darah pada manusia. Diantara karyanya adalah al-Qoonuun fi al-Thibb yang merupakan ensiklopedi kedokteran paling besar dalam sejarah.

Bidang optikal Abu Ali al-Hasan ibn. al-Haythami, yang di Eropa dikenal dengan nama Alhazen, terkenal sebagai orang yang menentang pendapat bahwa mata mengirim cahaya ke benda yang dilihat. Menurut teorinya yang kemudian terbukti kebenarannya bendalah yang mengirim cahaya ke mata.

Di bidang kimia, terkenal nama Jabir ibn Hayyan. Dia berpendapat bahwa logam seperti timah, besi dan tembaga dapat diubah menjadi emas atau perak dengan mencampurkan suatu zat tertentu.

Di bidang matematika terkenal nama Muhammad ibn Musa al-Khawarizmi, yang juga mahir dalam bidang astronomi. Dialah yang menciptakan ilmu aljabar. Kata "aljabar" berasal dari judul bukunya, al-Jabr wa al-Muqoibalah.

Dalam bidang sejarah Islam terkenal nama at-Tabari, al-Birudi. Dan al-Mas'udi. Al-Mas’udi juga dikenal sebagai ahli dalam ilmu geografi. Diantara karyanya adalah Muuruj al-Zahab wa Ma'aadzin al-Jawahir. Sebagain besar sejarawan periode Abbasiyah mempelajari dan menulis tentang sejarah hidup Nabi SAW (sirah). Salah satu sirah yang adalah yang ditulis oleh Muhammad bin Ishaq (w. 150 H/767 M).

Tokoh-tokoh terkenal dalam bidang filsafat, antara lain al-Farabi, Ibn Sina, dan Ibn Rusyd. Al-Farabi banyak menulis buku tentang filsafat,logika, jiwa, kenegaraan, etika dan interpretasi terhadap filsafat Aristoteles. Ibn Sina juga banyak mengarang buku tentang filsafat. Yang terkenal diantaranya ialah al-Syifa'. Ibn Rusyd yang di Barat lebih dikenal dengan nama Averroes, banyak berpengaruh di Barat dalam bidang filsafat, sehingga di sana terdapat aliran yang disebut dengan Averroisme.

Penerjemahan buku-buku asing marak dilakukan pada masa ini, tidak saja karya orang Nestoris dan aliran Neoplatonis dari Mesopotania juga banyak, bahkan khalifah juga berusaha untuk membeli berbagai karya ilmiah klasik dari kalangan manapun dan dari bahsa manapun termasuk bahasa yunani, persia dan lainya, termasuk musuh politik mereka sekalipun, jika tidak memperoleh manuskrip dengan penaklukan.

Perhatian masyarakat sangat tinggi dibidang sastra, bisa dikatakan Pada abad ini adalah abad keemasan sastra Arab dan sejarah, masyarakat arab sangat membanggakan sastra dan asal usul mereka, dalam periode awal abbasiyah telah didapati banyak terjemahan dari bahasa Pahleli atau adaptasi dari bahasa persia. Banyak orang-orang yang gemar untuk menulis sastra dan sejarah kabilah-kabilah mereka, kehebatan nenek moyang meraka sangat dibanggakan. Bagian sejarah yang penting adalah riwayat nabi Muhammad.

Berkembanganya pemikiran intelektual dan keagamaan pada periode ini (Abbasiyah) antara lain karena kesiapan umat Islam untuk menyerap budaya dan khazanah peradaban besar dan mengembangkannya secara kreatif, ditambah dengan dukungan dari khalifah pada waktu itu dengan mengfasilitasi terciptanya iklim intelektual yang kondusi. Sumbangsih Pada era ini, didukung sikap umat Islam yang terbuka terhadap seluruh umat manusia yang datang berinteraksi dengan mereka, hal inilah menimbulkan simpati dan mendorong orang-orang non arab (mawali) untuk masuk Islam. Kelompok ini ikut mamberi sumbangan besar bagi kemajuan paradaban pada masa ini. Para ilmuan pada masa ini menduduki posisi penting.

III. Pendirian Madrasah dan Perpustakaan (Bayt- al-Hikmah)

Pada masa daulah Abbasiyah, ibu kota Bagdad menjadi pusat intelektual muslim, di mana terjadi pengembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan Islam. Perpustakaan adalah salah satu cara yang ditempuh oleh orang dahulu untuk menyiarkan ilmu pengetahuan. Pada masa itu buku-buku sulit untuk dimiliki karena belum ada mesin percetakan sehingga penyebarannya masih melalui tulisan tangan. Sehingga wajar buku-buku yang ada hanya dimiliki atau mampu dibeli oleh golongan kaya atau yang memilki kemauan keras untuk menuntut ilmu pengetahuan. Oleh kerena itu keberadaan perpustakaan sangat menolong dan bermanfaat bagi orang-orang yang ingin menggali maupun menyebarkan ilmu pengetahuan.

Berbagai buku dikumpulkan diperpustakaan dan dibuka untuk umum. Dalam peradaban yang tinggi untuk ukuran saat itu, buku-buku mempunyai nilai moril yang sangat tinggi. Keberadaan buku dimuliakan, pengahargaan meraka terhadap buku-buku menjadikan meraka sangat mendukung pendirian dan keberadaan perpustakaan. Banyak perpustakaan yang tidak hanya didirikan di tempat-tempat umum oleh penguasa (khalifah), tetapi juga di rumah-rumah para pembesar dan orang kaya, karena bagaimanapun keberadaanya perpustakaan akan menjadi rumah itu lebih baik bersemarak dan tuan rumahnya menjadi orang terpandang dan mulia.

Tersedianya berbagai buku serta kajian ilmiah yang dilakukan dalam perpustakaan tersebut telah menjadi salah satu bibit tumbuhnya lembaga tinggi Islam yang pertama, seperti Akademi Bayt- al-Hikmah di Bagdad dan Akademi Dar al-Hikmah dengan Cairo. Jadi keberadaan perpustakaan dalam tradisi keilmuan Islam, mempunyai peran bukan saja sebagai sarana peminjaman buku, namun sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan. Hal ini juga yang terjadi pada perpustakaan Bayt- al-Hikmah yang disamping berfungsi sabagai perpustakaan untuk merangsang gerakan penerjemahan karya-karya logika, keilmuan dan filsafat dalam bahasa Arab juga telah menjadi pusat transmisi keilmuan pada masa daulah Abbasiyah.

Menurut Ibnu al-Nadhim, Madrasah dan Perpustakaann (Bayt- al-Hikmah) dibangan pada masa Khalifah Harun al-Rasyaid dan dilanjutkan pada masa Khalifah al-Amin untuk kemudian direnovasi kembali oleh Khalifah al-Ma’mun pada tahun 217/832 M dengan biaya sebesar satu juta dolar. Hal ini ditunjukan dengan adanya ‘Abu Sahl al-Fadl bin Naubakhat yang bertugas menerjemahkan buku-buku asing, yaitu dari buku-buku yang ditulis kedalam Persi ke dalam bahasa Arab di Khazanah al-Hikmah pada masa Harun al-Rasyid dan ‘Allan al-Syu’ubi asal Persia yang bertugas menulis buku-buku pada masa Khalifah Harun al-Rasyid, Al-Ma’mun dan keluarga al-Baramikah.

Faktor-Faktor Pendorong Perkembangan Madrasah dan Perpustakaan (Bayt al-Hikmah)

Keberadaan Bayt- al-Hikmah yang membawa dunia intelektual Islam kemasa kejayaan dan keemasan abad tengah, tentu saja telah mengundang mnat para ahli untuk menganalisa dan mempelajari kondisi-kondisi internal sebagai faktor penyebab kemajuan perkembangannya. Disini dapat dikemukakan beberapa faktor pendorong perkembangan Bayt- al-Hikmah tersebut, baik yang bersifat intern maupun ekstern.

Faktor–faktor intern yang dimaksud adalah:

1) Terciptanya stabilitas politik, kemakmuran ekonomi dan adanya dukungan dari khalifah Abbasiyah, karena mempunyai kecenderungan kepada ilmu pengetahuan, sebagai pendorong utama laju berkembangnya lembaga Bayt- al-Hikmah sejak masa khalifah al-Ma’mun. Khalifah ini selalu berupaya mendukung kegiatan Bayt- al-Hikmah, seperti memberi penghargan tinggi bagi sarjana-sarjana yang mempunyai reputasi yang tinggi dan bidangnya. Ia telah memberikan gaji yang cukup tinggi kepada para penerjamah yang ditugaskan di Bayt- al-Hikmah.

2) Adanya kebebasan keintektualan dan interaksi positif antara orang-orang Arab Muslim dan non Muslim, serta toleransi dan suasana penuh keterbukaan.

3) Adanya respon umat Islam terhadap usaha pengembangan Ilmu pengetahuan yang diikuti dengan adanya semangat keagamaan dan disertai pemikiran yang rasional.

4) Menurut azzumardi Azra dalam bukunya; “Esei-esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam Tinggi”, sebagai berikut:

“Kemajuan pendidikan seperti yang ada di Bayt- al-Hikmah ini, disamping didorong ajaran-ajarannya Islam yang menuntut penganutnya untuk mengembangkan ilmu pengetahuan,juga karena kemampuan masyarakat mewujudkan situasi keilmuan yang dinamis. Pendidikan tinggi Islam tidak bersifat eksklusif, ia terbuka terhadap pikiran-pikiran non-muslim. Objektifitas keilmuan yang direfleksikan dengan penerimaan diktum-diktum ilmiah secra kritis melalui perdebatan-perdebatan intelektual meratakan jalan bagi kemajuan pikiran Islam.

Pendidikan tinggi Islam sebagai pusat intelektual tidak berubah menjadi “menara gading” yang steril dan terasing dari lingkungan masyarakatnya. Ia responsif terhadap perubahan-perubahan yang terjadi di lingkungan yang mengitarinya. Sebagaimana terlihat, ia terbuka bagi setiap pencinta Ilmu, tanpa dibarengi oleh birokrasi-birokrasi dan formalitas yang ketat.”

5) Adanya pertentangan di kalangan kaum muslimin sendiri dan terpecahnya mereka menjadi golongan-golongan, di mana tiap-tiap golongan berusaha untuk mempertahankan wujud dirinya, dan memerlukan bahan-bahan perdebatan. Hal ini terjadi antara Mu’tazilah dan golongan Ahl al-Sunnah wal Jama’ah.

6) Situasi politik saat itu, dimana setiap tokoh yang berkuasa harus bisa mengambil hati rakyatnya agar tetap menaruh simpati pada pemimpinnya. Itulah para khalifah Abbasiyah telah mengalihkan perhatian rakyat pada pentingnya ilmu pengetahuan yang memang begitu diminati masyarakat Arab pada waktu itu.

7) Terpadunya peranan Bayt- al-Hikmah sebagai lembaga penerjemahan, akademi, perpustakaan dan observatorium, menyebabkan lembaga tersebut dapat mengoptimalkan perannya dalam transmisi ilmu pengetahuan.

Sedangkan beberapa faktor intern yang berperan besar dalam pendirian dan pengembangan Bayt- al-Hikmah ini adalah:

1) Adanya kesepakatan antara Kaisar Romawi dan Kalifah al-Ma’mun yag isinya telah memperkenankan kepada khalifah al-ma’mun untuk menjalin berbagai buku langka peninggalan Yunani kono yang ada di wilayah imperium Romawi dan membawa buku-buku tersebut ke Bayt- al-Hikmah di Bagdad.

2) Kesediaan orang-orang Kristen Nestorius untuk bekerja di Bayt- al-Hikmah dan membantu khalifah dalam menerjemahkan buku-buku asing tersebut ke dalam bahasa Arab seperti yang telah dilakukan oleh Hunain bin Ishaq dan murid-muridnya.

3) Muncul dan berkembangnya pemikiran Yunani dan Persia yang sangat mempengaruhi model pemerintahan khalifah Abbasiyah. Sebab pemikiran tersebut sangat mendukung untuk mmeperkenalkan idealnya manusia mengenai pengukuhan diri kalangan aristokrasi. Seorang aristokrat haruslah seorang yang menguasai berbagai bidang pengetahuan, kepustakaan, sejarah, filsafat, dan agama.

IV. Keistimewaan dan Keunggulan

Koleksi yang dimiliki oleh Bayt al-Hikmah cukup lengkap mulai dari buku-buku agama Islam (kitab-kitab Tafsir, hadits/al-Kutub as Sittah, teologi sampai kepada buku Sains; Astronomi, Matematika, Sejarah, Kedokteran (Al Hawi oleh Muhammada bin Zakaria, Ali Abbas dengan kitab al- Malki, Ibnu Sina dengan al-Qanun fi at Tibb dan sebagainya) ditambah lagi dengan kitab-kitab sastra dan buku-buku yang dihadirkan dari hasil terjemahan. Koleksi yang dimiliki tidak kurang dari 100.000 volume, boleh jadi sebanyak 600.000 jilid buku, termasuk 2.400 buah al-Qur'an berhiaskan emas dan perak disimpah diruang terpisah. Menurut Cyril Elgood:

Buku-buku lainya—tentang ilmu-ilmu hukum (figih), tata bahasa, retorika, sejarah, biografi, astronomi, dan ilmu kimia—tersimpan dalam rak (peti) buku yang luas di sekitar (sepanjang) dinding, yang terbagi dalam susunan di atas rak-rak buku, masing-masing memiliki satu pintu dengan sebuah kunci. Di atas pintu masing-masing bagian, tergantung satu daftar buku-buku yang ada di dalamnya, demikian pula peringatan (keterangan) tentang buku-buku yang tidak ada dari masing-masing cabang ilmu pengetahuan.

Bayt al-Hikmah bukan hanya sekedar sebagai perpustakaan saja dengan koleksi bukunya, tetapi dia berfungsi sebagai lembaga penerbitan dan lembaga penerjemahan, yang tentunya dari berbagai buku yang di terjemahkan tanpa melihat latar belakangnya dan hal ini mendapat dukungan yang tinggi dari khalifah pada waktu itu dengan menunjuk orang sebagai penerjemah dan sampai kepada pembelian buku dari daerah lain jika daerah itu belum di taklukan oleh khalifah.

Disamping itu Bayt al-Hikmah berfungsi sebagai observatorium, tempat untuk melakukan eksperimen, dan juga sebagai tempat berkumpul untuk berdiskusi, sehingga dari hasil diskusi dan penelitian ini maka akan menghasilkan ilmu baru dan nantinya akan di terbitkan menjadi buku.

V. PembangunanTradisi Keilmuan Pendidikan Islam

Jika kita perhatikan masa kejayaan Islam (Abbasiyah), tentunya hal yang menarik kita perhatikan adalah tingginya tradisi keilmuan masyarakat. Tradisi yang berkembang pada waktu itu adalah tradisi membaca, menulis, berdiskusi, keterbukaan/kebebasan berfikir, penelitian serta pengabdian mereka akan keilmuan yang meraka kuasai. Bagi mereka adalah kepuasan tersendiri bisa mempunyai kekayaan ilmu.

Tradisi intelektual terlihat dari; kecintaan mereka akan buku-buku yang hal itu dibarengi dengan adanya perpustakaan-perpustakaan baik atas nama pribadi yang diperuntukkan kepada khalayak umum atau yang disponsori oleh khalifah, para ulama sengaja open hause bagi siapa aja yang datang kerumahnya untuk membaca (mencari ilmu). Kedudukan meraka juga dimata masyarakat sangat mulia. Sedemikian cintanya masyarakat akan ilmu sampai-sampai khalifah pada waktu itu untuk merebut hati masyarakat harus memberi perhatian kepada pengembangan ilmu, jadi tidak heran khalifah mendirikan perpustakaan dan beberapa penghargaan bagi ulama atau orang-orang yang berhasil menemukan keilmuan baru.

Hasil membaca meraka kemudian didiskusikan dan kembangkan lagi, meraka menjadikan perpustakaan dan masjid sebagai tempat berdiskusi, dari sinilah memunculkan ide/keilmuan baru, tercipta tradisi menulis, menyadarkan kebutuhan untuk berkarya yang sangat tinggi, sehingga kita bisa menikmati hasilnya dari karya-karya mereka.

Tradisi penelitian juga kita lihat dari temuan-temuan (eksperimen) ilmu dalam bidang sains; matematika; kedokteran, astronomi dan lainya. Hal ini juga kita bisa amati dari adanya observatorium yang berada di sinjar pada khalifah al-Ma’mun, atau adanya sekolah khusus kedokteran di Jundishapur. Penelitian akan hadits dan lain sebagainya. Itulah Keingintahuan meraka yang sangat tinggi bukan hanya keilmuan yang bernuansa keislaman tapi juga bernuangsa ilmu alam.

Kebebasan—keterbukaan berpikir dan kecintaan ilmu memotivasi kegiatan penerjemahan pada waktu itu tanpa memandang dari mana buku itu dan siapa pengarangnya, mereka tidak melihat lagi latarbelakang agama, maupun bangsa (daerah), malah meraka bisa kerjasama dalam keilmuan dengan bangsa lain atau orang-orang non Islam tanpa sedikitpun takut akan hilang atau rusaknya akidah meraka.

Tradisi yang sama juga telah berkembang di tradisi keilmuan barat; motivasi mereka sangat tinggi untuk mencari ilmu, tradisi membaca dan berdiskusi tinggi, tradisi meneliti yang tinggi, keterbukaan berfikir dan kebutuhan untuk berkarya juga sangat tinggi. Teknologi dan informasi kebanyakan dikuasai oleh barat, banyak temuan dan peraih nobel pengetahuan bukan dari kalangan Islam.

Inilah menurut penulis kemajuan Barat dan Islam Abbasiyah dalam hal ilmu pengetahuan yang perlu kita kembangkan untuk kemajuan dibidang pendidikan Islam. Inilah yang harus dilakukan untuk mengejar ketertinggalan dengan membangun tradisi keilmuan yang kondusif dalam lingkungan masyarakat akademis. Menciptakan tradisi membaca, tradisi menulis, berdiskusi, meneliti, keberanian untuk berfikir kreatif dan terbuka dengan keilmuan lainya.

Probem pendidikan Islam adalah problem sistemik, kita perlu melibatkan berbagai pihak untuk bisa lepas dari keterpurukan. Mulai dari pemerintah sebagai pembuat kebijakan secara makro bagi sistem pendidikan nasional dan sebagai pengayom pelaksanaannya, lembaga pendidikan Islam, pendidik, peserta didik sampai kepada orang tua pendidik (anak didik) harus dilibatkan dengan resposibility yang tinggi.

Pemerintah menjadi faktor penting dalam membangun iklim belajar yang kondusif, yang mampu menyediakan fasilitas pendidikan yang memadai; sarana praktikum, buku dan gedung yang kondusif untuk sarana belajar dan akses pendidikan untuk warga miskin. Pemerintah harus cermat dalam menentukan anggaran pendidikan serta mengawalnya, sehingga tidak ada penyelewengan anggaran pendidikan yang hal itu memperngaruhi pelaksanaan program pendidikan.

Bagi lembaga sekolah dan pendidik harus mampu memberikan kebijakan dalam rangka membentuk tradisi intelektual (membaca, menulis, meneliti dan berdikusi serta berkarya) di kampus atau disekolah, misalnya dengan mengadakan lomba karya tulis ilmiah, lomba penelitian, lomba debat, memberikan motivasi untuk membaca, menggunakan metode dan media yang bisa mengembangkan daya pikir, kreatifitas, membuat program-program lainya untuk pengembangan diri dan menciptakan lingkungan yang kondusif untuk belajar.

Bagi orang tua membantu menciptakan suasana akademis dirumah, dengan mengarahkan meraka untuk belajar dan selalu memotivasi meraka untuk maju. Orang tua juga berkewajiban mengawasi prilaku anak didik, orang tua juga harus mengetahui program sekolah, sehingga kegiatan sekolah terbantu oleh orang tua ketika mereka berada diluar sekolah. Antara sekolah (lembaga Pendidikan Islam), guru (pendidik) dan orang tua anak didik harus saling komunikasi; Sekolah mengetahui kebutuhan masyarakat dan masyarakat mengetahui kebutuhan sekolah, mengetahui problem anak didik dan sebagainya. Hal ini memungkinan untuk mengetahui dan selanjutnya membicarkan problem-prolem pendidikan yang sedang terjadi, sehingga ditemukan solusi yang tepat untuk berbagai pihak

Pengembangan tradisi-tradisi keintelektualan, harus dikembangkan mulai dari pendidikan dasar dan dari lingkup terkecil, keluarga. Jika tradisi tersebut tidak dikembangkan dari pendidkan dasar dan keluarga, maka pendidik akan kesulitan menciptakan tradisi keilmuan untuk mereka, sehingga penciptaan tradisi itu selalu terlambat untuk diterapkan. Butuh proses yang panjang dalam mewujudkannya, tapi jangan pesimis melihat wajah pendidikan Islam saat ini.

VI. Penutup

Pada masa inilah Islam meraih kejayaanya. Banyak kontribusi keilmuan yang disumbangkan. Karya dan tokoh-tokohnya telah menjadi inspirasi dalam pengembangan keilmuan, oleh karena itu masa ini dikatakan sebagai masa keemasan Islam walau akhirnya peradaban Islam mengalami kemunduran dan kehancuran di bidang keilmuan bersamaan dengan berakhirnya pemerintahan Abbasiyah.

Dari kajian ini, diharapkan mampu menyadarkan kita akan pentingnya lingkungan intelektual yang kondusif dan memotivasi untuk mencari ilmu. Belajar sejarah akan tidak ada gunanya jika kita tidak bisa mengambil pelajaran darinya. Amin.





Daftar Pustaka


Amin Mansur. Sejarah Peradaban Islam.. Bandung: Indonesia Spirit Faoundation, 2004

Azra Azumardi, Esei-eseiIntelektual Muslim dan Pendidikan Islam. Jakarta: Logos, 1998

Hanafi Ahmad, Pengantar Filsafat Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1990

Hasan Ibrahim, Sejarah dan kebudayaan Islam (islamic History and Culture) terj. Djahdan Humam Yogyakarta: Tiara Wacana, 1989

Langgulung Hasan, Manusia Dan pendidikan; Suatu Analisa Psikologis, filsafat dan Pendidikan. Jakarta: Al-Husna Baru, 2004

Lapidus Ira M.,. Sejarah Sosial Umat Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada,1999

Lubis Nur Ahmad Fadhil. Ensiklopedi Tematis dunia Islam (Khilafah), Jakarta: Ikhtiayas Baru Van Hoeve.

Mahmudunnasir Syed, Islam Konsepsi dan Sejarahnya. Bandung: Rosda Karya, 1991

Maryam Siti, ed. Sejarah Peradaban Islam; dari Masa Klasik Hingga Modern. Yogyakarta: LESFI. 2003

Nakosteen Mehdi. Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat; Deskripsi Analisis abad keemasan Islam Surabaya: Risalah Gusti, 1996

Watt W. Montgomery, Kejayaan Islam; Kajian kritis dari Tokoh Orientalis. Yogjakarta: Tiara Wacana, 1990

Zuhairini dkk,. Sejarah Pendidikan Islam. (Jakarta: Bumi Aksara, 1997)