Senin, 21 April 2008

PUISI SANG BIDADARI

12/03/07. 21.41.10
Melodi shalawat mengapa begitu lekat dalam benak?
Samudra kerinduan mengapa begitu larut dalam pasirnya?
Hanya cerita? Mengapa tidak terelaksana sunnahnya?
Apakah diri ini tidak pantas bertemu dengannya?

Kamis, 17 April 2008

Anehdot Pesantren

MUNIR


Kebiasaan di Pesantren Luhur Malang antri kamar mandi, walau tuk sekedar membasuh muka, buanng air kencing, buang air besar sampai mandipun harus antri karena terbatasnya sarana kamar mandi di pesantren, menggedor pintu kamar mandi untuk menyuruh santri yang didalamnya untuk lekas keluar diganti oleh yang lain. Sudah menjadi sebuah kewajiban.
Pada suatu ketika Mbah jenggot merasakan perutnya sakit luar biasa... diapun bergegas dari ke kamar mandi, tapi apes kamar mandi penuh semua....maka dengan harapan strategi jitu ia pun menggedor-godr salah satu pintu kamar mandi...
Dor......dor......dor........sangat keras sampai suaranya terdengar di dalam kamr santri yang lain
Mbah Jenggot : Nir..Nir... cepetan aku udah ngak tahan, cepetan antri....Suwe tenan
Pintupun terbuka dan terdengar suara..
" ono opo Le..."
Seketika itupun Mbah Jenggot lari terbirit-birit dengan muka merah padam kembali ke kamarnya...
e...... ternyata yang ada dalam kamar mandi adalah Pak Yai Munir.....
kena Loe Mbah........................ ngak jadi deh.. buang airnya


NOTE :
Sanor : Santri Senior (santri yang udah lama di Pesantren)
Suwe Tenan : lama sekali
Ono opo le : ada apa nak
Pak Yai Munir : salah satu Dewan Asatidz mengajar Ibnu Aqil dan Tafsir Ayatul Ahkam

Puisi Sang Bidadari

22/02/07. 13.23.28

Singgasana langit begitu cerah
Terselimut udara padang sahara
Cakrawala memancarkan aura Sang raja
Mengajak kita tuk selalu tersenyum dan berdzikir kepadaNya…
Selamat siang……

KAJIAN

TRADISI PEMIKIRIAN (TELEKTUAL) PARA ILMUAN
(antara Islam dan Barat)
Pendahuluan

Kajian tentang tradisi pemikiran atau tradisi intelektual sangat menarik untuk diperbincangkan, karena taradisi inilah yang akan melahirkan pengetahuan dan budaya dan imu pengetahuan yang mewarnai kehidupan manusia
Sudah disepakati bahwa manusia adalah makhluk yang berakal. Sudah banyak filosof membahas hakikat akal, orang boleh berdebat dan berbeda pendapat tentang apa yang disebut akal, tetapi semua setuju akal adalah alat berpikir. Dalam perkembangan peradaban, manusia menemukan cara-cara berpikir yang benar. Caracara berpikir yang benar tersebut dengan tujuan untuk mencari suatu kebenaran. Dalam ajaran agama Islam, seperti disinyalir al-Qur'an, manusia diciptakan sebagai makhluk yang paling sempurna. Kesempurnaannya adalah karena anugerah akal pikiran yang diberikan oleh Allah swt. Kepada manusia. Menurut Bross (1953)2 manusia adalah masterpice Tu han, karena itu ia merupakan makhluk yang paling istimewa. Keistimewaannya adalah kemampuannya untuk membuat dan mengambil keputusan. Kemampuan menganbil keputusan yang dimiliki manusia karena akalnya, sehingga memungkinkan ia berpikir dan bernalar dalam rangka mencari kebenaran.
Dengan akal itulah manusia dapat berfikir dan bernalar untuk mengumpulkan pengetahuan tentang segala yang ada dari pengalaman. Mulamula pengetahuan yang diperolehnya itu adalah pengetahuan biasa. Tetapi, pada perkembangan berikutnya akal manusia akan mencari keterangan yang dapat membenarkan mengapa suatu hal bisa terjadi. Sifat akal seperti ini yang nantinya mendorong manusia untuk memperoleh pengetahuan yang benar dan bahkan mempertanyakan tentang kebenaran itu sendiri. Kalau sudah sampai di sini, maka permasalahannya menjadi tidak sederhana lagi. Manusia akan mulai menanyakan tentang apakah hakekat kebenaran itu, bagaimana cara memperolehnya, dan untuk apa kebenaran itu dicari. Pada tingkat perkembangan seperti ini, maka timbul dalam diri manusia itu kebutuhan untuk mencari hakekat kebenaran

Jejak-jejak dari berbagai jenis pemikiran dan reaksi masih kuat kita rasakan. Ada (kalangan) skolastik taat, kalangan keagamaan yang saleh dan kalangan ilmuwan murni. Kemudian ada orang yang begitu membenci organisasi sehingga berlebihan menentangnya dengan menyerukan kembali kepada peramal yang tidak tahu baca-tulis dan yakin bahwa seluruh kebesaran manusia dicapai dengan ilham. Sementara ilmu-ilmu psikologis dan ilmu-ilmu lainnya mengikuti dengan menunjukkan ketidaklayakan dari ilmu-ilmu lainnya. Dalam banyak kasus, hal ini telah menjadi suatu nada tunggal yang bisa merujuk pada perdebatan dari suatu gagasan tertutup dan memiliki sifat dogmatisme keagamaan dan semua dogmatisme lainnya.

Perkembangan Pemikiran dalam Islam
Tradisi pemikiran dan keilmuan dalam Islam berkembang cukup pesat dengan dimulainya aktivitas penerjemahan karya-karya Yunani kuno ke dalam bahasa Arab. Menurut catatan sejarah, perkembangan intelektual Islam mengalami tiga gelombang besar. Pertama, fase kejayaan. Di bawah dorongan ajaran islam, suatu peradaban tumbuh dalam dua abad pertama hijriyah yang menghasilkan perubahan pandangan yang dramatis. Peradaban ini lahir dari konsep pengetahuan terintegrasi ('ilm) yang memadukan aspek material dan spiritual sebagai kesatuan yang seimbang. Dengan dorongan Islam untuk mengamati, mempertimbangkan, dan merenungkan, keinginan memperoleh pengetahuan menjadi hasrat yang mengakar. Gerakan demi kemajuan pengetahuan lmiah yang dipimpin oleh umat islam ini berlangsung setidaknya selama tujuh abad (dari 700 sampai 1400 M) dan menghasilkan lebih dari seratus orang jenius yang diakui telah mengubah haluan pemikiran ilmu pengetahuan secara signifikan.
Dengan demikian, pada masa itu Islam berhasil membangun dan mencapai kemajuan yang luar biasa dalam bidang keilmuan dan mampu menjadi center of civilization yang utama pada skala global. Islam juga mampu menghadirkan peradaban yang besar dan agung.
Aktivitas keilmuan ini kian marak dengan dibangunnya pusat pengajian terkenal di Baghdad, Basrah, Kufah dan Andalus. Begitu juga perkembangan perpustakaan yang menjadi pusat penyelidikan para ilmuan Islam. Pada mulanya masjid dijadikan pusat penyebaran ilmu sebelum berdirinya kuttab, madrasah (sekolah) dan Jami’ah (universitas). Dalam tradisi skolastik Islam, madrasah menjadi lembaga pendidikan yang sangat penting. Dari sudut sejarah pendidikan, madrasah merupakan perkembangan lebih lanjut dari masjid yang menjadi pusat pendidikan tinggi untuk mempersiapkan ahli-ahli hukum Islam, yang eksklusif bagi setiap madzab. Dari sudut politik, madrasah adalah media yang sangat efektif untuk memenangkan pengaruh ulama. Sedangkan dari sudut pembentukan ortodoksi Islam, madrasah mewakili gerakan kaum tradisionalis untuk mengkristalkan pandangan dan ajarannya yang bebas dari pengaruh pemikiran kaum rasionalis, seperti Asy’ariyah dan Mu’tazilah, begitu juga bebas dari pemikiran Syi’ah.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan tradisi keilmuan Islam ini berkembang pesat kala itu salah satunya adalah keinginan pihak khalifah mendirikan institusi pendidikan, toko-toko buku dan perpustakaan berkembang pesat, guru-guru yang mengajar dengan penuh keikhlasan serta kegiatan pembukuan dan penjilidan yang demikian pesat. Artinya bahwa tradisi keilmuan tidak hanya dimiliki oleh kalangan elit tapi hampir seluruh lapisan masyarakat berlomba membekali diri dengan keilmuan yang memadai. Sungguh satu hal yang mengagumkan apabila kita membaca sejarah umat Islam dahulu yang begitu berminat membaca, mengajar serta megembangkan ilmu. Masing-masing berlomba-lomba memberikan kontribusinya dalam memajukan institusi pendidikan dengan mewakafkan sebagian harta mereka untuk kebutuhan kemajuan pendidikan.
Dalam tradisi keilmuan Islam, kita temukan tiga jenis perpustakaan yaitu perpustakaan umum, perpustakaan khas (khusus) dan perpustakaan khas-umum. Perpustakaan umum yaitu perpustakaan yang dibuka untuk orang awam seperti perpustakaan di masjid-masjid. Perpustakaan ini dapat dipergunakan oleh siapapun juga dari beragam kalangan. Diantaranya adalah perpustakaan Basrah dan Perpustakaan al-Azhar. Di Baghdad saja terdapat 38 buah perpustakaan umum dan di Cordova terdapat 70 buah perpustakaan.
Perpustakaan khas (khusus) ialah perpustakaan pribadi yang dimiliki oleh para pembesar dan ulama, seperti perpustakaan Fatah bin Haqân (w. 247 H) dan perpustakaan Ibn Khasyab (567 M). Perpustakaan umum-khas yaitu perpustakaan yang khusus untuk para ulama, sarjana dan pelajar. Perpustakaan ini tidak dibuka kepada umum tetapi diperuntukan bagi para akademisi dan ilmuwan saja. Diantaranya Perpustakaan Baitul Hikmah yang didirikan oleh Harun al-Rasyid di Baghdad, Perpustakaan Dar al-Hikmah yang didirikan oleh Hakam Amrillah pada tahun 395 H di Kaherah dan Perpustakaan Cordova.
Nuh ibnu Mansur adalah salah seorang yang bangga dengan dirinya karena menjadi salah seorang yang memiliki perpustakaan terbaik. Ia meminta ibnu Abbad untuk menjadi ketua penanggung jawabnya, kemudian ia menolak pegawai kerajaan karena harus membutuhkan 400 ekor onta untuk mengangkut buku-bukunya tersebut ke ibukota, katalog perpustakaan pribadinya terdiri dari sepuluh volume. Perpustakaan Adun Dawlah (wafat 982) memiliki dua cabang, disamping satu perpustakaan miliknya di Basrah, ia membangun sebuah perpustakaan yang luas di pekarangan istananya di Shiraz, dipimpin oleh seorang pustakawan, seorang pengawas dan seorang direktur (Hazin, Matsrif dan Wakil). Perpustakaan tersebut berisi banyak buku-buku literature ilmiah. Cyril Elgood menggambarkan buku-buku Adun Dawlah tersimpan memanjang (dalam garis bujur) ruang (hall) yang melengkung dengan banyak kamar di semua sudutnya. Pada dinding ruang tersebut ditempatkan rak buku setinggi enam kaki dan lebar tiga yard, terbuat dari kayu berukir, dengan pintu-pintu yang tertutup dari atas. Setiap cabang ilmu pengetahuan memiliki kotak-kotak buku dan katalog yang terpisah.
Perpustakaan Baitul Hikmah (rumah pengetahuan) yang didirikan pada tahun 998, oleh Khalifah fathimiyah, al-Aziz (975-996). Berisi tidak kurang dari 100.000 volume, kurang lebih sebanyak 600.000 jilid buku, termasuk 2.400 buah al-Qur’an berhiaskan emas dan perak disimpan di ruang terpisah. Di Spanyol dan Sisilia ada lebih dari tujuh puluh perpustakaan muslim Spanyol, dua terbesar diantaranya adalah perpustakaan Khalifah al-Hakim (wafat 976) di Cordova, berisi sekitar 600.000 volume yang secara hati-hati diseleksi oleh para penyalur buku masa itu yang ahli dari semua pasar buku Islam. Perpustakaannya dipimpin oleh sebuah staf yang cukup besar, terdiri dari para pustakawan, penyalin dan penjilid di dalam scriptorium. Perpustakaan Abdul Mutrif, seorang hakim Cordova, kebanyakan berisi buku-buku langka, masterpiece-masterpiece kaligrafi, mempekerjakan enam orang penyalin yang bekerja penuh waktu. Perpustakaan ini terjual dalam lelang sebesar 40.000 dinar setelah ia wafat tahun 1011. Perpustakaan Sabor di Baghdad yang didirikan oleh Sabor bin Ardashir seorang menteri Ibn Buwaih pada tahun 383 H. Perpustakaan ini juga berisi seribu al-Qur’an tulisan tangan dan 10,400 buah buku dalam pelbagai bidang. Di Baghdad terdapat seratus buah toko buku dan ulama yang tinggal di situ tidak kurang dari delapan ribu orang..
Begitulah maraknya kegiatan tradisi keilmuan Islam pada masa itu. Semua orang berlomba memperkaya diri dengan ilmu. Sedangkan pada saat yang sama dunia Eropa masih berada dalam masa kegelapan. Bangsa Eropa dalam keadaan kekurangan buku dan perpustakaan. Dalam abad ke-9 Masehi, Perpustakan Katedral di Bandar Kensington hanya menyimpan 356 buah buku saja dan Perpustakaan di Hamburg mempunyai 96 buah buku saja. Ini menunjukkan umat Islam saat itu sangat unggul dalam kecintaan dan penghargaannya terhadap buku dan ilmu. Bahkan bangsa Eropa kala itu menjadikan peradaban Islam sebagai acuan gaya hidupnya sebagaimana sekarang bangsa Timur menjadikan Barat sebagai ukuran kemajuan. Umat Islam kala itu berusaha menyalin semua salinan-salinan manuskrip terutama al-Qur’an, hadis, sastra dan sains. Ibn Ishaq Nadim telah menulis buku yang berjudul al-Fihrist (Katalog) yang membicarakan buku-buku serta pengarangnya hingga abad-10 masehi. Buku ini merupakan karya bibliografi dan katalog yang paling lengkap tentang manuskrip-manuskrip yang ditulis atau diterjemahkan oleh sarjana muslim. Walaupun begitu, banyak buku-buku tersebut telah hilang akibat peperangan dan pemusnahan perpustakaan. Kegigihan Imam al-Ghazali dalam menuntut ilmu patut pula dijadikan contoh. Walaupun dia telah menjadi ulama besar dan mendapat gelar hujjat al-Islam tetapi ia masih berguru dalam bidang hadis pada detik-detik terakhir kehidupannya.
Kegiatan keilmuan ini membuktikan bahwa tradisi keilmuan Islam berkembang pesat pada zaman tersebut bersama dengan kegemilangan peradaban Islam. Peradaban yang maju tidak dapat dibangun dan dipertahankan tanpa tradisi keilmuan yang kuat. Dengan kata lain, peradaban Islam berkembang seiring dengan kuatnya perkembangan tradisi keilmuan. Oleh sebab itu, membangun peradaban Islam mesti mengikutsertakan pembangunan tradisi keilmuan dengan mewujudkan dan memperbanyak institusi pendidikan yang berkualitas dan jaringannya menembus batas negara. Demikian juga, umat Islam perlu melahirkan ulama, sarjana dan pemikir yang berkualitas yang mampu menghadirkan kegiatan kajian, penelitian dan penterjemahan yang semarak. Tanpa unsur-unsur tersebut institusi pendidikan dan keilmuan akan nampak sepi dan tidak berkembang.
Ilmu-ilmu keagamaan dan ilmu-ilmu lainnya berkembang sangat pesat, yaitu dengan lahirnya beberapa tokoh besar pada zamannya, seperti Jabir ibn al-Hayyan (kimia), Muhammad ibn Musa al-Khwarizmi (matematika), Muhammad ibn Zakariya al-Razi (kedokteran), Ali ibnal-Husain al-mas'udi (geografi), Abu Raihan Muhammad ibn Ahmad al-Biruni (fisika dan geografi), Ibn Sina (kedokteran), Abu al-Qasim al-Zahrawi(ilmu bedah), Abu al-Walid ibn Rusyd (filsafat ilmu), dan Ibn Nafis (fisiologi), dan sebagainya.
Kedua, fase kemunduran. Fase kejayaan sebagaimana diuraikan di atas diikuti oleh masa surutnya kegiatan, bahkan kemerosotan, yang lamanya lebih dari tiga ratus tahun (1400-1750), bersamaan dengan masa ketika Eropa mengasimilasi sumbangan ilmiah dari al-Khwarizmi, ibn Sina, Ibn al-Haitsam, al-zahrawi, dan Ibn Rusyd. Orang mungkin setuju dengan analogi M. Bennabi bahwa karena
dorongan al-Qur'an mati, sedikit demi sedikit Dunia Muslim mandek bagai motor yang
sedang menghabiskan liter bensin yang terakhir. Di sepanjang sejarah, tak ada pengganti duniawi yang dapat menggantikan sumber energi manusia yang unik, yakni iman.
Kemudian, muncullah masa kekacauan besar dan pemikiran ulang di Dunia Muslim, sebagian terjadi akibat dominasi politik serta kemuadian dominasi ekonomi dan teknologi Eropa (dan kemudian Amerika) atas Negara-negara Muslim.40 Pada masa itu, yaitu abad ke-14 samapi abad ke-17 umat Islam mengalami masa kemunduran dalam bidang keilmuan, disamping karena akibat dominasi politik, ekonomi, dan teknologi Barat juga karena mereka merasa cukup apa yang sudah dilakukan oleh pendahulunya dan menikmati romantisme sejarah dan cenderung pada olah rasa atau tasawuf.
Ketiga, fase kebangkitan ilmiah. Pada abad ke-19 dan abad ke-20 dapat disebut sebagai fase kebangkitan ilmiah yang ditandai oleh geliat kebangkitan kembali umat Islam. Di setiap Negara terdapat petunjuk adanya modernisasi pada awal abad ke-18 dan adanya kegiatan ilmiah pada akhir abad ke-18, serta awal abad ke 19, diikuti dengan pertumbuhan yang stabil.41 Demikianlah, pada dasawarsa terakhir abad ke-18, satu karya ilmiah diterbitkan oleh seorang ilmuan Muslim di anak Benua India, sedangkan pada abad ke-19 terlihat perkembangan yang eksponensial, dengan 52 karya diterbitkan selama periode 1890-1909. Setelah itu, perkembangan kegiatan ilmiah di anak Benua India berlangsung sangat cepat, seperti yang didokumentasikan oleh Mohammed Ataur-Rahim(1983).

Ibnu Rusyd
Abul al Walid Muhammad Ibnu Ahmad Ibnu Muhammad Ibnu Rusydi, yang kemudian lebih dikenal dengan nama Ibnu Rusydi atau Averrous, merupakan seorang ilmuwan muslim yang sangat berpengaruh pada abad ke-12 dan beberapa abad berikutnya. Ia adalah seorang filosof yang telah berjasa mengintegrasikan Islam dengan tradisi pemikiran Yunani.
Ibnu Rusydi dilahirkan pada tahun 1126 M di Qurtubah (Cordoba) dari sebuah keluarga bangsawan terkemuka. Ayahnya adalah seorang ahli hukum yang cukup berpengaruh di Cordoba, dan banyak pula saudaranya yang menduduki posisi penting di pemerintahan. Latar belakang kelauarga tersebut sangat mempengaruhi proses pembentukan tingkat intelektualitasnya di kemudian hari.
Kebesaran Ibnu Rusydi sebagai seorang pemikir sangat dipengaruhi oleh zeitgeist atau jiwa zamannya. Abad ke-12 dan beberapa abad sebelumnya merupakan zaman keemasan bagi perkembangan ilmu pengetahuan di Dunia Islam, yang berpusat di Semenanjung Andalusia (Spanyol) di bawah pemerintahan Dinasti Abasiyah. Para penguasa muslim pada masa itu mendukung sekali perkembangan ilmu pengetahuan, bahkan mereka sering memerintahkan para ilmuwan untuk menggali kembali warisan intelektual Yunani yang masih tersisa, sehingga nama-nama ilmuwan besar Yunani seperti Aristoteles, Plato, Phitagoras, ataupun Euclides dengan karya-karyanya masih tetap terpelihara sampai sekarang
Liku-liku perjalanan hidup pemikir besar ini sangatlah menarik. Ibnu Rusydi dapat digolongkan sebagai seorang ilmuwan yang komplit. Selain sebagai seorang ahli filsafat, ia juga dikenal sebagai seorang yang ahli dalam bidang kedokteran, sastra, logika, ilmu-ilmu pasti, di samping sangat menguasai pula pengetahuan keislaman, khususnya dalam tafsir Al Qur’an dan Hadits ataupun dalam bidang hukum dan fikih. Bahkan karya terbesarnya dalam bidang kedokteran, yaitu Al Kuliyat Fil-Tibb atau (Hal-Hal yang Umum tentang Ilmu Pengobatan) telah menjadi rujukan utama dalam bidang kedokteran.
Kecerdasan yang luar biasa dan pemahamannya yang mendalam dalam banyak disiplin ilmu, menyebabkan ia diangkat menjadi kepala qadi atau hakim agung Cordoba, jabatan yang pernah dipegang oleh kakeknya pada masa pemerintahan Dinasti al Murabitun di Afrika Utara.Posisi yang prestisius dan tentunya diimpikan banyak orang. Posisi tersebut ia pegang pada masa pemerintahan Khalihaf Abu Ya’kub Yusuf dan anaknya Khalifah Abu Yusuf.
Hal terpenting dari kiprah Ibnu Rusydi dalam bidang ilmu pengetahuan adalah usahanya untuk menerjemahkan dan melengkapi karya-karya pemikir Yunani, terutama karya Aristoteles dan Plato, yang mempunyai pengaruh selama berabad-abad lamanya. Antara tahun 1169-1195, Ibnu Rusydi menulis satu segi komentar terhadap karya-karya Aristoteles, seperti De Organon, De Anima, Phiysica, Metaphisica, De Partibus Animalia, Parna Naturalisi, Metodologica, Rhetorica, dan Nichomachean Ethick. Semua komentarnya tergabung dalam sebuah versi Latin melengkapi karya Aristoteles. Komentar-komentarnya sangat berpengaruh terhadap pembentukan tradisi intelektual kaum Yahudi dan Nasrani.
Analisanya telah mampu menghadirkan secara lengkap pemikiran Aristoteles. Ia pun melengkapi telaahnya dengan menggunanakan komentar-komentar klasik dari Themisius, Alexander of Aphiordisius, al Farabi dengan Falasifah-nya, dan komentar Ibnu Sina. Komentarnya terhadap percobaan Aristoteles mengenai ilmu-ilmu alam, memperlihatkan kemampuan luar biasa dalam menghasilkan sebuah observasi.
Perkembangan Tradisi Pemikiran Barat
Sudah diakui bahwa "gerakan intelektual yang dicanangkan oleh Ibnu Rusyd (pada abad kesebelas) tetap menjadi faktor yang hidup dalam pemikiran Eropa sampai lahirnya ilmu eksperimental modern."1 Sejak abad kedelapan, orang-orangArab telah mengkaji dan menyesuaikan pemikiran Yunani dengan pemikiran mereka sendiri. Seperti orang-orang Barat pada masa selanjutnya, mereka semua bekerja berdasarkan buku semata-mata, dengan asumsi bahwa sebuah buku bisa memuat keseluruhan ajaran.
Ibnu Rusyd menegaskan hak seorang pemikir untuk menyerahkan segala sesuatu pada kemampuan akal, kecuali hal-hal yang berkaitan dengan supranaturalisme. Ia adalah seorang dokter, komentator Aristoteles dan seorang astronom. Ia juga mempelajari musik, yang tertuang dalam sebuah monograf (laporan tertulis) yang diterbitkan berkaitan dengan komentar terkenalnya atas karya Aristoteles dan diajarkan di Paris, setelah disensor oleh gereja. Sarjana Cordoba ini dikenal sebagai Averroes di Barat dan ia mempunyai pengaruh luar biasa terhadap para pemikir Yahudi. Seperti gurunya, Ibnu Tufail, ia telah menurunkan suatu sistem Sufi yang sejalan dengan sistem filosofis yang diperbolehkan. Ibnu Tufail (di Barat dikenal dengan Abubacer, sesuai dengan nama pertamanya, Abu Bakr) juga seorang ahli fisika, filosuf dan terutama seorang wazir di Pengadilan Granada. Ia menulis roman luar biasa yang berjudul Cerita tentang Hayy bin Yaqzan. Menurut para mahasiswa Barat, karya ini merupakan cikal-bakal dari cerita Robinson Crusoe. Sementara Alexander Selkirk sekadar berperan sebagai pelempar berita dengan menentukan topiknya. Karya ini didasarkan atas sebuah cerita dari Ibnu Sina (980-1037), yang ajarannya hampir seluruhnya bersifat filosofis. Ia juga seorang dokter, filosuf dan ilmuwan. Tetapi Ibnu Sina sendiri mengikuti jejak filosuf besar lainnya, yaitu al-Farabi (Alfarabius), yang gagasan Sufistiknya telah dicap sebagai Neoplatonik. Ia meninggal lebih dari dari seribu tahun yang lalu.
Setelah melalui Abad Pertengahan (abad V-XV M) yang gelap dengan ajaran gereja yang dominan, Barat mulai menggeliat dan bangkit dengan Renaissance, yakni suatu gerakan atau usaha –yang berkisar antara tahun 1400-1600 M– untuk menghidupkan kembali kebudayaan klasik Yunani dan Romawi.آ Berbeda dengan tradisi Abad Pertengahan yang hanya mencurahkan perhatian pada masalah metafisik yang abstrak, seperti masalah Tuhan, manusia, kosmos, dan etika, Renaissance telah membuka jalan ke arah aliran Empirisme. William Ockham (1285-1249) dengan filsafat Gulielmus-nya yang mendasarkan pada pengenalan inderawi, telah mulai menggeser dominasi filsafat Thomisme, ajaran Thomas Aquinas yang menonjol di Abad Pertengahan, yang mendasarkan diri pada filsafat Aristoteles. Ide Ockham ini dianggap sebagai benih awal bagi lahirnya Renaissance.
Semangat Renaissance ini, sesungguhnya terletak pada upaya pembebasan akal dari kekangan dan belenggu gereja dan menjadikan fakta empirik sebagai sumber pengetahuan, tidak terletak pada filsafat Yunani itu sendiri. Dalam hal ini Barat hanya mengambil karakter utama pada filsafat dan seni Yunani, yakni keterlepasannya dari agama, atau dengan kata lain, adanya kebebasan kepada akal untuk berkreasi. Ini terbukti antara lain dari ide beberapa tokoh Renaissance, seperti Nicolaus Copernicus (1473-1543) dengan pandangan heliosentriknya, yang didukung oleh Johanes Kepler (1571-1630) dan Galileo Galilei (1564-1643) . Juga Francis Bacon (1561-1626) dengan teknik berpikir induktifnya, yang berbeda dengan teknik deduktif Aristoteles (dengan logika silogismenya) yang diajarkan pada Abad Pertengahan.آ آ Jadi, Barat tidak mengambil filsafat Yunani apa adanya, sebab justru filsafat Yunani itulah yang menjadi dasar filsafat Kristen pada Abad Pertengahan, baik periode Patristik (400-1000 M) dengan filsafat Emanasi Neoplatonisme yang dikembangkan oleh Augustinus (354-430), maupun periode Scholastik (1000 - 1400 M) dengan filsafat Thomisme yang bersandar pada Aristoteles. Semua filsafat Yunani ini membahas metafisika, tidak membahas fakta empirik sebagaimana yang dituntut oleh Renaissance. Jadi, semangat Renaissance itu tidak bersumber pada filsafat Yunaninya itu sendiri, tetapi pada karakternya yang terlepas dari agama.
Renaissance juga diperkuat adanya Reformasi, sebuah upaya pemberontakan terhadap dominasi gereja Katholik yang dirintis oleh Marthin Luther di Jerman (1517). Gerakan ini bertolak dari korupsi umum dalam gereja –seperti penjualan Surat Tanda Pengampunan Dosa (Afllatbrieven)–, penindasannya yang telanjang, dan dominasinya terhadap negara-negara Eropa. Meskipun Reformasi tidak secara langsung ikut memperjuangkan apa yang disebut “pembebasan akal”, tetapi gerakan ini secara tak sadar telah memperkuat Renasissance dengan mempelopori kebebasan beragama (Protestan) danآ telah memperlemah posisi Gereja dengan memecah kekuatan Gereja menjadi dua aliran; Katholik dan Protestan. Kritik-kritik terhadap Injil di Jerman sekitar abad XVII juga dianggap implikasi tak langsung dari adanya Reformasi. Meskipun demikian, Gereja Katholik dan tokoh Reformasi memiliki sikap sama terhadap upaya Renaissance, yakni menentang ide-ide yang tidak sesuai dengan Injil. Calvin, seorang tokoh Reformasi di Jenewa (Swiss), mendukung pembakaran hidup-hidup terhadap Servetus dari Spanyol (1553), yang menentang Trinitas. Gereja Katholik dan Reformasi juga sama-sama menolak ide Copernicus (1543) tentang matahari sebagai pusat tatasurya, seraya mempertahankan doktrin Ptolemeus yang menganggap bumi sebagai pusat tatasurya.
Pada abadآ XVII, perkembangan Renaissance telah melahirkan dua aliran pemikiran yang berbeda : aliran Rasionalisme dengan tokoh-tokohnya seperti Rene Descartes (1596-1650), Baruch Spinoza (1632-1677), dan Pascal (1623-1662), dan aliran Empirisme dengan tokoh-tokohnya Thomas Hobbes (1558-1679), John Locke (1632-1704).آ Rasionalisme memandang bahwa sumber pengetahuan yang dapat dipercaya adalah rasio (akal), sedang Empirisme beranggapan bahwa sumber pengetahuan adalah empiri, atau pengalaman manusia dengan menggunakan panca inderanya.
Kemudian datanglah Masa Pencerahan (Aufklarung) pada abad XVIII yang dirintis oleh Isaac Newton (1642-1727), sebagai perkembangan lebih jauh dari Rasionalisme dan Empirisme dari abad sebelumnya. Pada abad sebelumnya, fokus pembahasannya adalah pemberian interpretasi baru terhadap dunia, manusia, dan Tuhan. Sedang pada Masa Aufklarung, pembahasannya lebih meluas mencakup segala aspek kehidupan manusia, seperti aspek pemerintahan dan kenegaraan, agama, ekonomi, hukum, pendidikan dan sebagainya.
Bertolak dari prinsip-prinsip Empirisme John Locke, George Berkeley (1685-1753) mengembangkan “immaterialisme”, sebuah pandangan yang lebih ekstrim daripada pandangan John Locke. Jika Locke berpandangan bahwa kita dapat mengenal esensi sebenarnya (hakikat) dari fenomena material dan spiritual, Berkeley menganggap bahwa substansi-substansi material itu tidak ada, Yang ada adalah ciri-ciri yang diamati.آ Pandangan Locke dan Berkeley dikembangkan lebih lanjut oleh David Hume (1711-1776), dengan dua ide pokoknya; yakni tentang skeptisisme (keragu-raguan) ekstrim bahwa filsuf itu mampu menemukan kebenaran tentang apa saja, dan keyakinan bahwa “pengetahuan tentang manusia” akan dapat menjelaskan hakikat pengetahuan yang dimiliki manusia.
Selain George Berkeley dan David Hume, Immanuel Kant (1724-1804) juga dianggap salah seorang tokoh Masa Pencerahan. Filsafat Kant disebut Kritisisme, yakni aliran yang mencoba mensintesiskan secara kritis Empirisme yang dikembangkan Locke yang bermuara pada Empirisme Hume, dengan Rasionalisme dari Descartes. Kant mulai menelaah batas-batas kemampuan rasio, berbeda dengan dengan para pemikir Rasionalisme yang mempercayai kemampuan rasio bulat-bulat. Namun demikian, Kant juga mempercayai Empirisme. Walhasil dia berpandangan bahwa semua pengetahuan mulai dari pengalaman, namun tidak berarti semua dari pengalaman. Obyek luar ditangkap oleh indera, tetapi rasio mengorganisasikan bahan-bahan yang diperoleh dari pengalaman tersebut.
Pada abad XIX, filsafat Kant tersebut dikembangkan lebih lanjut di Jerman oleh J. Fichte (1762-1814), F. Schelling (1775-1854) dan Hegel (1770-1831). Namun yang mereka kembangkan tidaklah filsafat Kant seutuhnya, tetapi lebih memprioritaskan ide-ide, yakni tidak memfokuskan pada pembahasan fakta empirik. Karenanya, aliran mereka disebut dengan Idealisme. Dari ketiganya, Hegel merupakan tokoh yang menonjol, karena banyak pemikir pada abad ke-19 dan ke-20 yang merupakan murid-muridnya, baik langsung maupun tidak. Mereka terbagi dalam dua pandangan, yaitu pengikut Hegel aliran kanan yang membela agama Kristen seperti John Dewey (1859-1952), salah seorang peletak dasar Pragmatisme yang menjadi budaya Amerika (baca : Kapitalisme) saat ini, dan pengikut Hegel aliran kiri yang memusuhi agama, seperti Feuerbach, Karl Marx, dan Engels dengan ide Materialisme yang merupakan dasarآ ideologi Komunisme di Rusia.
Empirisme itu sendiri pada abad XIX dan XX berkembang lebih jauh menjadi beberapa aliran yang berbeda, yaitu Positivisme, Materialisme, dan Pragmatisme.
Positivisme dirintis oleh August Comte (1798-1857), yang dianggap sebagai Bapak ilmu Sosiologi Barat. Positivisme sebagai perkembangan Empirisme yang ekstrim, adalah pandangan yang menganggap bahwa yang dapat diselidiki atau dipelajari hanyalah “data-data yang nyata/empirik”, atau yang mereka namakan positif. Nilai-nilai politik dan sosial menurut Positivisme dapat digeneralisasikan berdasarkan fakta-fakta yang diperoleh dari penyelidikan terhadap kehidupan masyarakat itu sendiri. Nilai-nilai politik dan sosial juga dapat dijelaskan secara ilmiah, dengan mengemukakan perubahan historis atas dasar cara berpikir induktif. Jadi, nilai-nilai tersebut tumbuh dan berkembang dalam suatu proses kehidupan dari suatu masyarakat itu sendiri.
Materialisme adalah aliran yang menganggap bahwa asal atau hakikat segala sesuatu adalah materi. Di antara tokohnya ialah Feuerbach (1804-1872), Karl Marx (1818-1883) dan Fredericht Engels (1820-1895). Karl Marx menerima konsep Dialektika Hegel, tetapi tidak dalam bentuk aslinya (Dialektika Ide). Kemudian denganآ mengambil Materialisme dari Feuerbach, Karl Marx lalu mengubah Dialektika Ide menjadi Dialektika Materialisme, sebuah proses kemajuan dari kontradiksi-kontradiksi tesis-antitesis-sintesis yang sudah diujudkan dalam dunia materi. Dialektika Materialisme lalu digunakan sebagai alat interpretasi terhadap sejarah manusia dan perkembangannya. Interpretasi inilah yang disebut sebagai Historis Materialisme, yang menjadi dasar ideologi Sosialisme-Komunisme (Marxisme).
Semua nama ini adalah bagian vital dari warisan pemikiran modern. Menurut sebagian besar orang, reaksi menentang upaya-upaya Abad Pertengahan untuk membentuk suatu gagasan tentang kehidupan dan kreasi yang koheren tidak memberikan sesuatu yang lebih baik kepada kita selain kesiapan yang berlebihan untuk mempercayai segala sesuatu. Pikiran ilmuwan yang kritis, penuh keinginan terhadap penemuan, akhir-akhir ini diakui sebagai suatu sikap terlalu ambisius. Ilmuwan yang harus menjaga pikiran dan konsentrasinya terpaku pada suatu bidang kajian yang semakin menyempit, sebenarnya berada dalam keadaan rawan, dan sekarang ia mengakuinya. Ia justru terlalu terpusat atau terlalu lebur. Kadangkala perkembangan intelektualnya menang dengan mengorbankan penyesuaian emosionalnya. Bahaya ini telah lama tampak bagi para Sufi yang tertarik pada karya ilmiah.
Sampai sekarang taradisi keilmuan barat sangat mewarnai tradisi pemikiran di seluruh dunia, banyak intelektual barat yang mempunyai jasa dan pengaruh yang besar terhadap pembangunan tradisi intelektual. Kita pasti mengenal Issac Newthon
Mengembalikan kejayaan Islam

Ada beberapa persoalan pada saat ini untuk kembali menuju kepada kejayaan tradisi intelektual islam
Imam Suprayogo memberikan analisis yang mungkin dapat diajukan berkenaan dengan hal tersebut, di antaranya adalah :
Pertama, bahwa pemikiran-pemikiran Islam yang berkembang selama ini dianggap ketinggalan zaman, sehingga kurang menarik bagi mahasiswa di perguruan tinggi Islam. Analisis semacam ini telah banyak dilontarkan oleh para pemikir pembaharu dalam Islam seperti Fazlur Rahman, Hasan Hanafi, Muhammad Arkoun dan sebagainya.
Kedua, masih terbayangi ketakutan di kalangan para pemikir Islam untuk melakukan modernisasi dan reformulasi pemikiran keislaman. Munculnya perdebatan panjang antara kaum modernis dan kaum tradisionalis adalah fakta yang menunjukkan adanya ketakutan itu. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika hingga saat ini umat Islam masih disibukkan pada perdebatan berkenaan dengan masalah ini, sehingga melupakan hal-hal lain yang lebih subtansial dan besar.
Ketiga, meminjam istilah dalam Psikologi Abnormal, umat Islam tampaknya sedang mengidap syndrome of inferiority complex. Di kalangan umat Islam saat ini banya mengidap penyakit kurang percaya diri dan pesimistis, sebagai akibat adanya kemunduran dan peradaban Islam dibandingkan dengan peradaban Barat yang lebih maju. Hal ini yang menyebabkan mereka merasa lebih bangga jika mengambil semangat dan tradisi pemikiran Barat yang cenderung bersifat sekuler, dan malah sebaliknya, mereka meninggalkan tradisi pemikiran dalam Islam.
Disamping itu persoalan umum yang kini sedang dihadapi oleh bangsa-bangsa yang mayoritas berpenduduk Islam adalah ketertinggalan dari negara-negara maju dalam memproduksi naskah dan mengakses perkembangan-perkembangan baru dunia keilmuan. Bahkan negara-negara berpenduduk mayoritas Islam cenderung hanya menjadi konsumen dari produk-produk keilmuan yang dihasilkan oleh negara maju. Ironisnya lagi, ritme keilmuan yang berkembangpun mengikuti irama yang dikendalikan oleh negara-negara maju tersebut. Kini sudah saatnya membangkitkan kembali tradisi kelimuan yang dulu pernah berkembang di dunia Islam. Dengan demikian dapat mengimbangi produktivitas negara-negara maju dalam memproduksi berbagai kebutuhan keilmuan dan teknologi sendiri tanpa menggantungkan kepada mereka.
Untuk mencapai impian tersebut maka para sarjana dan intelektual Islam perlu bekerja keras dalam mewujudkan tradisi keilmuan yang dinamis dan harmonis. Permasalahan mendasar seperti pengadaan buku referensi perlu diperbanyak, aktivitas penelitian perlu digalakkan dan buku-buku yang ada di perpustakaan perlu dimaksimalisasi disertai dengan aktivitas-aktivitas diskusi di setiap ruang dan sudut-sudut perpustakaan. Menggairahkan kembali tradisi menulis di kalangan para sarjana dan ulama. Banyak para ulama kita yang secara keilmuan sangat memadai namun sayang sebagian mereka memiliki kesulitan dalam menuangkan gagasan-gagasannya dalam bentuk tulisan. Demikian pula karya-karya buku yang dihasilkan sudah waktunya diterjemahkan ke dalam bahasa asing supaya menyebar dan dapat dibaca oleh dunia internasional.
Meskipun dari sisi financial akan mengalami banyak kendala namun perlu dipikirkan bersama agar pemikiran-pemikiran para ilmuan kita tetap dapat diakses oleh masyarakat terlebih masyarakat internasional. Kita banyak mendengar kisah para ilmuwan Barat yang rela menghabiskan uang bagitu banyak hanya untuk mencari sebuah manuskrip atau buku. Mereka tidak terlalu berhitung seberapa besar uang yang ia keluarkan demi memenuhi kebutuhan kelimuannya. Kegigihan dan kesungguhan dalam memenuhi kebutuhan keilmuan seperti ini mesti kita tumbuhkan di kalangan sarjana-sarjana muslim. Dengan demikian, harapan untuk membangkitkan kembali tradisi keilmuan dalam dunia Islam tidak lagi menjadi impian tetapi dapat kita nikmati hasilnya.
Ungkapan Abu Hasan Ali al-Nadwi patut kita renungkan, baginya ilmuwan yang baik adalah yang menulis untuk generasinya dan generasi kemudian. Para ulama dan ilmuwan menulis buku bukan untuk dirinya atau meraup keuntungan sesaat tetapi untuk generasi kini dan generasi mendatang. Proses regenerasi dan transformasi keimuan ini mungkin memakan waktu yang cukup lama daripada usia seseorang atau ratusan tahun. Oleh karena itu, sudah saatnya ilmuwan Islam menyemarakkan sekaligus mewariskan tradisi keilmuan kepada generasi mendatang supaya mereka dapat meneruskan langkah besar ini.
Dalam membangkitkan tradisi keilmuan, tidak cukup hanya membangun aspek fisik bangunan lembaga pendidikan dengan segala fasilitasnya semata, tapi yang tak kalah pentingnya adalah membangun sikap mental individu. Upaya penting yang mesti segera dilakukan adalah membangkitkan kesadaran masyarakat secara umum dalam menghargai ilmu dan budaya membaca yang tinggi, sebab dalam membaca buku inilah pintu pengetahuan itu terbuka. Beragam informasi-informasi baru bisa didapat. Persoalannya saat ini minat baca masyarakat kita masih rendah. Hal ini dapat kita lihat dari kebiasaan sehari-hari masyarakat kita yang kerapkali menghabiskan waktu kosongnya untuk hal-hal yang tidak produktif. Seperti kebiasaan menunggu kendaraan hanya untuk melamun. Mengisi waktu dalam perjalanan untuk tidur dalam kendaraan, dan sebagainya. Waktu-waktu kosong seperti ini dapat dimanfaatkan untuk membaca majalah, Koran, ataupun buku.
Disamping itu perkembangan teknologi sudah selayaknya dapat dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya khususnya dalam meningkatkan tradisi keilmuan. Melalui media internet, kita dapat memperoleh beragam ilmu dan bahan-bahan kajian dari para ilmuwan seluruh dunia dengan mudah dan cepat. Karenanya sudah seharusnya lembaga-lembaga pendidikan melengkapi fasilitas pendidikannya dengan fasilitas internet agar sarjana-sarjana kita tidak tertinggal dengan sarjana-sarjana di negara-negara lain.
Penutup

Tradisi intelektual terjadi dimana-mana, tiap bangsa mempunyai tradisi terendiri, baik itu tradisi yang dikembangkan oleh barat maupun yang dikembangkan oleh orang-orang islam.
Dan persoalan yang paling penting untuk keterangsungan ebuah tradisi intelektual dan kebudayaan adalah menyiapkan generasi lanjut dengan meninggalkan warisan berupa kebudayaan dan tulisan yang dapat dijadikan bahan rujukan untuk pengembangan tradisi keilmuan bagi generasi selanjtnya.