Jumat, 21 Maret 2008

kajian

Haramkan Maulid Berarti Memaki Shalahuddin al-Ayyubi

Mantan ketua umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mengecam kelompok atau golongan tertentu yang mengharamkan peringatan Maulid Nabi Muhammad. Menurutnya, hal itu sama saja dengan memaki atau menghina Shalahuddin al-Ayyubi—Sultan Mesir dan Syria sekaligus muslim pertama yang menyelenggarakan Maulid Nabi.

“Kalau ada yang mengharamkan Maulid, ya sama saja memaki-maki Shalahuddin al-Ayyubi. Ya, silakan saja,” ujar mantan presiden RI itu saat menjadi narasumber pada acara Kongkow Bareng Gus Dur, di Green Radio, Jalan Utan Kayu No. 68 H Jakarta, akhir pekan lalu.

Menurut Gus Dur, Sultan Shalahuddin al-Ayyubi yang juga pendiri Dinasti Ayyubiyah di Mesir, Suriah, sebagian Yaman, Irak, Mekah Hejaz dan Diyar Bakr, itu menyelenggarakan Maulid untuk menyemangati kaum muslimin yang tengah berperang melawan pasukan Kristen dalam Perang Salib.

Dengan demikian, katanya, tidak semua yang tidak ada pada masa Nabi adalah bid’ah (mengada-ada dalam beribadah) dan haram hukumnya. “Kalau begitu (bid’ah dan haram), kita jangan pakai celana. Pada zaman Nabi Muhammad, celana itu nggak ada. Sepatu dan sepeda juga nggak ada. Masa, sih, naik sepeda saja bid’ah?” imbuhnya.

Ketua Umum Dewan Syura DPP Partai Kebangkitan Bangsa itu berpendapat, agama memang bersifat mengikat pemeluknya karena menyangkut keyakinan, yaitu keyakinan terkait adanya Tuhan Yang Maha Esa dan Nabi Muhammad sebagai utusan-Nya. Sedangkan budaya, ujarnya, itu buatan manusia sendiri.

Minggu, 16 Maret 2008

WAJAHQ


RENUNGAN

Tradisi Intektual Pendidikan pada masa kejayaan Islam

( Daulah Abbasiyah)


I. Pendahuluan


Masa kekuasaan Abbasiyah adalah zaman keemasan peradaban (pendidikan) Islam yang berpusat di Bagdad yang berlangsung selama kurang lebih lima abad (750-1258 M), selain itu ada satu lagi kerajaan yang cukup menonjol dalam sejarah keemasaan Islam adalah kerajaan Umayyah di Spanyol yang berlangsung kurang lebih delapan Abab (711-1492). Masing-masing berpusat di Bagdad dan Cordova, dua tempat ini mewakili kejayaan negara Islam di Timur dan negara Islam di Barat.

Pembahasan topik ini cukup menarik mengingat pada masa ini adalah masa kejayaan Islam dalam bidang keilmuan, disamping kehebatan sistem politik, kemiliteran dan lain sebagainya yang kesemuanya kita bisa mengambil pelajaran dari sejarah ini. Untuk kepentingan pendidikan kita terfokus kepada keberhasilan tokoh-tokoh Islam dalam menjelajah keilmuan dan dengan karya-karyanya mereka, mulai dari aliran, fiqh, tafsir, ilmu hadits teologi, filsafat sampai kepada bidang keilmuan umum seperti matematika, astronomi, satra sampai kepada ilmu kedokteran. Tentunya kita masih ingat tokoh empat imam madhab, Ibnu Sina, Zakaria ar-Razi, Ibnu Maskawaih, al-Farabi, al-Kindi, dan sebagainya, mereka semua hidup pada masa ini.

II. Latar Belakang Sosial politik Masa Keemasan Islam

Kehidupan soial politik dalam islam dimulai pada masa Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam di Madinah ketika melakukan dakwahnya. Nabi berhasil membentuk masyarakat Madinah sebagai negara kota (city state), di mana saat itu Madinah terdiri dari berbagai kelompok masyarakat; Nasrani, kaum Anshar, kaum Muhajirjn dan ada juga dari mereka yang menyembah berhala (paganis). Melihat kenyataan masyarakat Madinah yang sangat plural itu, Nabi menganggap penting membentuk suatu ikatan sosial yang kokoh dan kuat dalam bentuk sebuah perjanjian, yang kemudian dikenal dengan Piagam Madinah. Dalam Piagam ini, Nabi menekankan arti penting konsep mengenai "ummah". Konsep ini tidak hanya memungkinkan pentingnya kehidupan yang menghargai pluralitas, akan tetapi menempatkan Islam sebagai rahmatan lil'alamin bagi kelangsungan kehidupan umat manusia di muka bumi ini. Menurut Montgomery Watt, istilah "ummah" berasal dari bahasa Ibrani yang berarti suku bangsa atau bisa juga berarti masyarakat.

Namun demikian, perjalanan sejarah Islam dihadapkan pada sebuah kenyataan yang memilukan. Di balik kesuksesan Piagam Madinah, perkembangan politik lokal Madinah menemukan konfigurasi yang sama sekali tidak terduga, yakni tampilnya kelompok-kelompok yang berupaya menggagalkan perjuangan Nabi, seperti kelompok separatis kaum Yahudi –Bani Qainuqa', Bani Nadhir dan Bani Quraidhah– yang menyatakan ketidaksetiaannya terhadap konstitusi yang disetujui bersama. Gerakan mereka cenderung oposan dengan melakukan koalisi bersama Quraisy Makkah dalam menghadapi kekuatan Nabi.

Selain peristiwa itu, terutama pasca Nabi wafat, banyak bermunculan persoalan-persoalan keumatan yang mesti diselesaikan. Misalnya masalah pertama dan pelik yang timbul adalah masalah kepemimpinan Islam (khalifah) berkenaan dengan siapa yang berhak menggantikan Nabi dalam kedudukannya sebagai kepala pemerintahan di Madinah dan tata cara yang ditempuh dalam proses penggantian tersebut. Karena disadari sejak awal bahwa Nabi memang tidak pernah menggariskan tata cara atau sistem yang baku dan menjadi rujukan dalam pengangkatan seorang pemimpin. Di samping itu, dalam pergaulan sosialnya, Nabi hanya memberikan tauladan dalam membangun masyarakat dengan upaya membumikan nilai-nilai keagamaan (Islam) dalam kehidupan kesehariannya. Nabi sama sekali hanya bergerak secara kultural. Ia tidak memanfaatkan legitimasi kekuatan kultural tersebut demi kemenangan strukturalnya menjadi pemimpin komunitas sosial keagamaan. Dalam menghadapi setiap persoalan, Nabi selalu melakukan musyawarah dengan melibatkan para sahabatnya.

Dengan melihat setting sosio-antropologis Nabi yang demikian itulah, dalam pengambilan kebijakan mengenai pengganti kepemimpinan Nabi wafat dilakukan melalui musyawarah mufakat. Dalam proses musyawarah tersebut, Abu Bakar akhirnya disepakati menjadi khalifah sebagai pengganti kepemimpinan Nabi. Meskipun melalui perdebatan yang sengit dalam permusyawaratan di Saqifah Bani Sa'idah, masing-masing pihak dari kalangan Muhajirin dan Anshar tetap berada dalam visi yang sama yakni mewujudkan kehidupan manusia yang berperadaban. Argumentasi-argumentasi yang dikemukakan kaum Muhajirin yang mengatakan “Kami pemimpin dan kalian semua adalah wazirnya” dan kalangan kaum Anshar yang menyatakan “Dari kami seorang pemimpin dan dari kamu juga seorang pemimpin” hanya sebatas pada ego yang bersifat lahiriyah semata. Mereka pada kenyataannya tengah memberikan suatu model tersendiri dalam membangun budaya demokratisasi dalam proses pemilihan tersebut. Dengan terpilihnya Abu Bakar secara demokratis untuk ukuran saat itu, kemudian ia di-bai’at oleh para sahabat sebagai khalifah pertama. Selama masa pemerintahannya yang kurang lebih dua tahun (11-13H/632-634M), kebijakan-kebijakan yang ditempuhnya kebanyakan dikonsentrasikan pada upaya penyelesaian persoalan-persoalan dalam negeri terutama tantangan dari suku-suku Arab yang enggan tunduk pada sistem pemerintahan Madinah.

Sementara itu dalam pemilihan Umar bin Khattab yang terpilih menjadi pengganti Abu Bakar, proses pemi­lihan mengalami perubahan dari yang sebelumnya bersifat terbuka. Terpilihnya Umar bin Khattab menjadi khalifah ternyata melalui penunjukan langsung Abu Bakar dan kemudian disetujui oleh kalangan sahabat senior serta dilanjutkan pembaitan secara umum. Prosesi yang berlangsung seperti ini dalam kenyataannya, telah mengundang kontroversi sekaligus menjadi ajang agitasi dan saling manjatuhkan. Misalnya terdapat sahabat yang kurang sependapat dengan usul Abu Bakar, seperti Abd al-Rahman bin 'Auf. Ia mengungkapkan ketidaksetujuannya dengan menghubungkan pada persoalan teologis “Demi Allah, Umar adalah orang yang terbaik di mata engkau, namun ia memiliki sikap yang keras.” Terhadap sanggahan Abd al-Rahman bin 'Auf ini, Abu Bakar melakukan pendekatan dan berusaha meyakinkannya melalui pernyataan “Umar berbuat demikian itu karena melihatku lunak, jika jabatan itu sudah diserahkan kepadanya, maka ia akan meninggalkan sikap keras tersebut”. Kesan Umar yang sering menampilkan sikap keras dan tegas itu, merupakan watak dan kepribadiannya. Sementara itu Asir bin Khudair yang pro dengan kepemimpinan Umar memaklumi bahwa sikap keras dan tegas Umar yang sering terlihat, itu dilakukannya lantaran sesuai dengan tuntutan keadaan.

Berbeda dengan prosesi pemilihan Umar bin Khattab, terpilihnya Usman bin Affan sebagai khalifah ketiga yaitu melalui dewan pemilih yang terdiri dari tujuh orang sahabat terkemuka yang dipilih atas saran Umar bin Khattab. Mereka itu antara lain Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Sa'ad bin Abi Waqas, Abd al-Rahman bin Auf, Zubair bin Awwam,Thalhah bin Ubaidillah, dan Abdullah bin Umar. Mereka bermusyawarah untuk memilih siapa di antara mereka yang disepakati bersama untuk menjadi khalifah pengganti Umar. Mereka akhirnya menemukan kata sepakat, dengan memilih Usman bin Affan sebagai pengganti khalifah sebelumnya. Usman yang memerintah (23-35H/644-656 M), dalam kurun 6 tahun terakhir pemerintahannya ia dituduh bersikap nepotism. Usman dituduh juga bersikap kolusi, selain karena ia mengangkat kalangan keluarganya dalam menduduki jabatan strategis, seperti mengangkat Abdullah bin Sa'ad bin Abi Sarh saudara angkatnya, menjadi gubernur Mesir, menggantikan Amer bin Ash yang diangkat Umar bin Khattab, Usman cenderung mengambil kebijakan tanpa memperhatikan kepentingan yang bersifat makro. Misalnya, mengangkat Abdullah bin Amr saudara sepupu, menjadi gubernur Basrah. Mengangkat Sa'ad bin Ash, saudara sepupunya menjadi gubernur di Kufah. Juga mengangkat Marwan bin Hakam, saudara sepupunya menduduki penasehat pribadi dan sekretaris negara. Tuduhan nepotis yang dilancarkan kepada Usman bin Affan tersebut, dampaknya menimbulkan iklim distabilitas di seantero wilayah, dan klimaksnya menyulut pemberontakan di Madinah yang menyebabkan Usman bin Affan terbunuh.

Tata cara pengangkatan Umar bin Khattab menjadi khalifah melalui nominasi tunggal sebagai putra mahkota, dan tata cara pengangkatan Usman bin Affan menjadi khalifah melalui otoritas dewan pemilih (electoral colledge), kemudian dijadikan teori politik oleh Al-Mawardi (364-450 H) seorang teoritikus politik terkenal di kalangan sunni. Menurut al-Mawardi ada dua cara mengenai pengangkatan kepala negara. Pertama, melalui otoritas ahl al-halli wa al aqdi (electoral colledge). Kedua, melalui penunjukan oleh khalifah sebelumnya dengan mengangkat putra mahkota.

Namun demikian, terdapat beberapa permasalahan yang muncul berkaitan dengan dua teori yang dikemukakan al-Mawardi tersebut. Jika seorang khalifah menunjuk penggantinya sebagai putra mahkota, apakah perlu legitimasi dari ahl al-halli wa al-aqdi?. Dalam hal ini al-Mawardi lebih memilih tidak perlu adanya persetujuan dari ahl al-halli wa al-aqdi. Tampaknya al-Mawardi lebih cenderung menguatkan teori pengangkatan putra mahkota daripada pilihan dewan electoral colledge untuk suksesi sebuah kepemimpinan negara. Dari sisi inilah ia dapat dikritik, bahwa sesungguhnya ia tidak pernah melahirkan sebuah teori politik, melainkan teori legitimasi kekuasaan. Hal itu dapat dimaklumi, karena dalam kata pengantar karyanya itu tertera sebuah pengakuan yang jujur “… untuk itu aku tulis karya ini memenuhi permintaan orang yang aku terikat loyalitas kepada dirinya”. Dari ungkapan al-Mawardi ini, nampak secara jelas bahwa al-Mawardi cenderung menafikan musyawarah. Di samping itu, apa pun kritik yang dilontarkan kepadanya, al-Ahkam al-Sultaniyyah yang ditulis al-Mawardi telah berpengaruh luas dan abad demi abad menjadi rujukan tetap kalangan pemikir politik Islam.

Setelah Usman bin Affan wafat, kemudian Ali bin Abi Thalib terpilih sebagai khalifah melalui pilihan umat dalam situasi yang tidak normal, akibat pemberontakan yang terjadi pada masa Usman bin Affan yang berakhir dengan terbunuhnya Khalifah Usman. Dapat dimaklumi bahwa terpilihnya Ali sebagai khalifah oleh umat saat itu tidak dengan suara bulat, karena ternyata ada aspirasi-aspirasi politik yang kemudian timbul menentangnya. Namun demikian asas musyawarah dalam pemilihan Ali menjadi kha­lifah tetap berjalan dan dilakukan sebagaimana mestinya. Setelah terpilih Ali dan kemudian dibaiat oleh segenap sahabat yang berada di Madinah, ia memerintah (35-40 H/ 656-661 M) selama 4 tahun 9 bulan. Pada masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib, sikap Asabiyah lama muncul kembali dari tiap-tiap golongan. Permusuhan dan persaingan lama semenjak zaman jahiliyah antara Bani Hasyim dan Bani Umaiyah timbul kembali, bahkan semakin hari semakin membara, yang kemudian menimbulkan perang Jamal dan perang Siffin. Dampaknya mengakibatkan Ali bin Abi Thalib terbunuh. Setelah khalifah Ali bin Abi Thalib meninggal, maka berakhirlah periode pemerintahan al-Khulafa al-Rasyidun selama (11-40 H /632-661 M).

Dengan berakhirnya pemerintahan al-Khulafa al-Rasyidun, sejarah kepemimpinan Islam beralih pada sistem monarkhi yang menempatkan dinasti Umayah sebagai pemenang peradaban Islam. Prosesi yang jauh berbeda dengan masa al-Khulafa al-Rasyidun itu, prinsip-prinsip dan tradisi musyawarah menjadi terabaikan. Kekhalifahan beralih menjadi sistem kerajaan yang diwarisi secara turun temurun. Muawiyah bin Abi Sufyan sebagai peletak dasar dan arsitek berdirinya Dinasi Umayah merupakan orang pertama dalam sejarah Islam yang bertanggung jawab atas mundurnya wacana demokratrisasi dalam Islam. Pada masa al-Khulafa al-Rasyidun, karakteristik kehidupan masyarakat Arab seperti kesederhanaan, semangat persamaan dan tiadanya formalitas masih tetap menonjol, pada masa Dinasti Umayah, ciri-ciri tersebut mengalami kepudaran. Fenomena ini setidaknya ditengarai pada sikap Muawiyah bin Abi Sufyan yang mengangkat pembantu utama dan penasehatnya (wazir) dengan mengesampingkan aspek profesionalitas. Berbagai formalitas peraturan protokoler mulai diadakan, seperti misalnya jabatan hajib yang bertugas mengatur pertemuan atau audiensi dengan khalifah.

Tradisi pemerintahan monarkhi pada masa Dinasti Umayah ini kemudian berlanjut pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah (132-656 H/750-1256 M). Bahkan untuk melegitimasi kekuasaan dan pemerintahan mereka, di kalangan Bani Abbasiyah menggunakan atribut pada kekhilafan mereka suatu sifat sebagai perwakilan Tuhan di bumi. Abu Ja'far al-Mansur (754-775 H) secara resmi memproklamirkan dirinya sebagai Sultan Allah di muka bumi (zillullah fi al-ard).[39] Dengan demikian, pada masa Dinasti Umayah dan Dinasti Abbasiyah, Islam kehilangan karakter liberatif dan demokratisnya dan menjadi bagian dari pemerintahan monarkhi. Bahkan ajaran Islam yang liberatif itu sedikit demi sedikit beralih menjadi pandangan yang fatalistik.

Sebuah masyarakat (Abbasiyah) yang punya kesadaran yang tinggi akan ilmu, hal ini ditunjukan masyarakat yang sangat antusias dalam mencari ilmu, penghargaan yang tinggi bagi para ulama, para pencari ilmu, tempat-tempat menuntut ilmu, banyaknya perpustakaan-perpustakaan pribadi yang dibuka untuk umum dan juga hadirnya perpustakaan Bayt al-Hikmah yang disponsori oleh khalifah pada waktu yang membantu dalam menciptakan iklim akademik yang kondusif. Tak heran jika kita menemukan tokoh-tokoh besar yang lahir pada masa ini. Tradisi intelektual inilah yang seharusnya kita contoh, sebagai usaha sadar keilmuan kita dalam mengejar ketertinggalan dan ini segera lepas dari keterpurukan.

Dalam makalah ini penulis hanya membatasi kepada pembahasan seputar tradisi intelektual pada masa Abbasiyah dengan perpustakaan yang sangat berperan pada masa ini yaitu Madrasah (Bayt- al-Hikmah), bagaimana peran lembaga Bayt- al-Hikmah dalam pengembangan keilmuan, faktor-faktor yang mempengaruhi dan apa saja tradisi keintelektualan yang terjadi pada masa ini(Abbasiyah).

Sekilas Daulah Abbasiyah dan Tradisi Pendidikan

Khilafah Abbasiyah merupakan kelanjutan dari khilafah Umayyah, dimana pendiri dari khilafah ini adalah keturunan Al-Abbas, paman Nabi Muhammad SAW, yaitu Abdullah al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn al-Abbas. Kekuasaan khilafah Abbasiyah berlangsung dalam waktu yang panjang, dari tahun 132 H (750 M) s.d. 656 H (1258 M). Selama dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial dan budaya. Berdasarkan perubahan pola pemerintahan dan politik itu, para sejarawan biasanya membagi masa pemerintahan Bani Abbas menjadi lima periode:

1. Periode Pertama (132 H/750 M-232 H/847 M), disebut periode pengaruh Persia pertama.

2. Periode Kedua (232 H/847 M-334 H/945 M), disebut periode pengaruh Turki pertama.

3. Periode Ketiga (334 H/945 M - 447 H/1055 M), masa kekuasaan dinasti Buwaih dalam pemerintahan khilafah Abbasiyah. Periode ini disebut juga masa pengaruh Persia kedua.

4. Periode Keempat (447 H/1055 M-590 H/l194 M), masa kekuasaan dinasti Bani Seljuk dalam pemerintahan khilafah Abbasiyah; biasanya disebut juga dengan masa pengaruh Turki kedua.

5. Periode Kelima (590 H/1194 M-656 H/1258 M), masa khalifah bebas dari pengaruh dinasti lain, tetapi kekuasaannya hanya efektif di sekitar kota Bagdad.

Pada periode pertama pemerintahan Bani Abbas mencapai masa keemasannya. Secara politis, para khalifah betul-betul tokoh yang kuat dan merupakan pusat kekuasaan politik sekaligus agama. Di sisi lain, kemakmuran masyarakat mencapai tingkat tertinggi. Periode ini juga berhasil menyiapkan landasan bagi perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan dalam Islam. Namun setelah periode ini berakhir, pemerintahan Bani Abbas mulai menurun dalam bidang politik, meskipun filsafat dan ilmu pengetahuan terus berkembang Walaupun dasar-dasar pemerintahan Abbasiyah diletakkan dan dibangun oleh Abu al-Abbas dan Abu Ja'far al-Manshur, tetapi puncak keemasan dari dinasti ini berada pada tujuh khalifah sesudahnya, yaitu :

1) al-Mahdi (775-785 M)

2) al-Hadi (775- 786 M)

3) Harun al-Rasyid (786-809 M)

4) al-Ma'mun (813-833 M)

5) al-Mu'tashim (833-842 M)

6) al-Wasiq (842-847 M)

7) al-Mutawakkil (847-861 M).

Popularitas daulat Abbasiyah mencapai puncaknya di zaman khalifah Harun al-Rasyid (786-809 M) dan puteranya al-Ma'mun (813-833 M). Masa pemerintahan Harun al-Rasyid yang 23 tahun itu merupakan permulaan zaman keemasan bagi sejarah dunia Islam belahan timur, seperti halnya masa pemerintahan Emir Abdulrahman II (206-238 H/822-852 M) di Cordova merupakan permulaan Zaman keemasan dalam sejarah dunia Islam belahan Barat.

Khalifah Harun al-Rasyid memanfaatkan Kekayaannya untuk keperluan sosial. Rumah sakit, lembaga pendidikan dokter, dan farmasi didirikan. Pada masanya sudah terdapat paling tidak sekitar 800 orang dokter. Disamping itu, pemandian-pemandian umum juga dibangun. Kesejahteraan sosial, kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan serta kesusasteraan berada pada zaman keemasannya, lebih–lebih lagi dengan adanya lembaga keilmuan yaitu bayt al-hikmah. Pada masa inilah negara Islam menempatkan dirinya sebagai negara terkuat dan tak tertandingi.

Al-Ma'mun, pengganti al-Rasyid, dikenal sebagai khalifah yang sangat cinta kepada ilmu. Pada masa pemerintahannya, penerjemahan buku-buku asing digalakkan. Untuk menerjemahkan buku-buku Yunani, ia menggaji penerjemah-penerjemah dari penganut agama lain yang ahli. Ia juga banyak mendirikan sekolah, salah satu karya besarnya yang terpenting adalah pembangunan Bait al-Hikmah, pusat penerjemahan yang berfungsi bagaikan perguruan tinggi dengan perpustakaan yang besar dan tempat berkumpul untuk berdiskusi.

Pada masa Al-Ma'mun inilah Baghdad mulai menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan. Al-Mu'tashim, khalifah berikutnya (833-842 M), memberi peluang besar kepada orang-orang Turki untuk masuk dalam pemerintahan, keterlibatan mereka dimulai sebagai tentara pengawal. Tidak seperti pada masa daulat Umayyah, dinasti Abbasiyah mengadakan perubahan sistem ketentaraan. Praktek orang-orang muslim mengikuti perang sudah terhenti. Tentara dibina secara khusus menjadi prajurit-prajurit profesional. Dengan demikian, kekuatan militer dinasti Bani Abbas menjadi sangat kuat.

Dalam kehidupan intelektual (pendidikan) di zaman dinasti Abbasiyah diawali dengan berkembangnya perhatian pada perumusan dan penjelasan panduan keagamaan terutama dari dua sumber utama yaitu al-quran dan Hadits. Dari kedua sumber ini lalu muncullah berbagai keilmuan lainnya. Ilmu-ilmu al-Qur-an dan ilmu-ilmu hadits adalah dua serangkaian seri pengetahuan yag menjadi pokok perhatian dan fokus perhatian waktu itu. Perhatian itu bisa dilihat dengan banyaknya kitab yang ditulis untuk menjelaskan al-Qur'an.

Dari gambaran di atas Bani Abbasiyah pada periode pertama lebih menekankan pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam daripada perluasan wilayah. Inilah perbedaan pokok antara Bani Abbas dan Bani Umayyah. Sebagaimana diuraikan di atas, puncak perkembangan kebudayaan dan pemikiran Islam terjadi pada masa pemerintahan Bani Abbas. Akan tetapi, tidak berarti seluruhnya berawal dari kreativitas penguasa Bani Abbas sendiri Sebagian di antaranya sudah dimulai sejak awal kebangkitan Islam. Dalam bidang pendidikan, misalnya, di awal kebangkitan Islam, lembaga pendidikan sudah mulai berkembang. Ketika itu, lembaga pendidikan terdiri dari dua tingkat :

1) Maktab/Kuttab dan masjid, yaitu lembaga pendidikan terendah, tempat anak-anak mengenal dasar-dasar bacaan, hitungan dan tulisan; dan tempat para remaja belajar dasar-dasar ilmu agama, seperti tafsir, hadits, fiqh dan bahasa.

2) Tingkat pendalaman. Para pelajar yang ingin memperdalam ilmunya, pergi keluar daerah menuntut ilmu kepada seorang atau beberapa orang ahli dalam bidangnya masing-masing. Pada umumnya, ilmu yang dituntut adalah ilmu-ilmu agama. Pengajarannya berlangsung di masjid-masjid atau di rumah-rumah ulama bersangkutan. Bagi anak penguasa pendidikan bisa berlangsung di istana atau di rumah penguasa tersebut dengan memanggil ulama ahli ke sana. Lembaga-lembaga ini kemudian berkembang pada masa pemerintahan Bani Abbas, dengan berdirinya perpustakaan dan akademi. Perpustakaan pada masa itu lebih merupakan sebuah universitas, karena di samping terdapat kitab-kitab, di sana orang juga dapat membaca, menulis dan berdiskusi. Perkembangan lembaga pendidikan itu mencerminkan terjadinya perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan. Hal ini sangat ditentukan oleh perkembangan bahasa Arab, baik sebagai bahasa administrasi yang sudah berlaku sejak zaman Bani Umayyah, maupun sebagai bahasa ilmu pengetahuan.

Kemajuan diraih paling tidak, dipengaruhi beberapa hal di antaranya: Terjadinya asimilasi antara bangsa Arab dengan bangsa-bangsa lain yang lebih dahulu mengalami perkembangan dalam bidang ilmu pengetahuan. Pada masa pemerintahan Bani Abbas, bangsa-bangsa non Arab banyak yang masuk Islam Asimilasi berlangsung secara efektif dan bernilai guna. Bangsa-bangsa itu memberi saham tertentu dalam perkembangan ilmu pengetahuan dalam Islam. Pengaruh Persia, sebagaimana sudah disebutkan, sangat kuat di bidang pemerintahan. Disamping itu, bangsa Persia banyak berjasa dalam perkembangan ilmu, filsafat, sastra serta karya-karya dari Persia juga diterjemahkan. Pengaruh India terlihat dalam bidang kedokteran, ilmu matematika dan astronomi. Sedangkan pengaruh Yunani masuk melalui terjemahan-terjemahan dalam banyak bidang ilmu, terutama filsafat.

Tradisi yang paling berpengaruh dalam menciptakan tradisi keilmuan yang kondusif adalah gerakan penterjemahan. Gerakan terjemahan berlangsung dalam tiga fase.

Fase pertama, pada masa khalifah al-Manshur hingga Harun al-Rasyid. Pada fase ini yang banyak diterjemahkan adalah karya-karya dalam bidang astronomi dan manthiq. Fase kedua berlangsung mulai masa khalifah al-Ma'mun hingga tahun 300 H. Buku-buku yang banyak diterjemahkan adalah dalam bidang filsafat dan kedokteran. Fase ketiga berlangsung setelah tahun 300 H, terutama setelah adanya pembuatan kertas.

Bidang-bidang ilmu yang diterjemahkan semakin meluas. Pengaruh dari kebudayaan bangsa yang sudah maju tersebut, terutama melalui gerakan terjemahan, bukan saja membawa kemajuan di bidang ilmu pengetahuan umum, tetapi juga ilmu pengetahuan agama. Dalam bidang tafsir, sejak awal sudah dikenal dua metode, penafsiran pertama, tafsir bi al-ma'tsur, yaitu interpretasi tradisional dengan mengambil interpretasi dari Nabi dan para sahabat. Kedua, tafsir bi al-ra'yi, yaitu metode rasional yang lebih banyak bertumpu kepada pendapat dan pikiran, daripada hadits dan pendapat sahabat.

Dalam perkembangan pemikiran keilmuan keislaman. kita mengenal Imam-imam mazhab hukum yang empat, mereka semua hidup pada masa pemerintahan Abbasiyah yaitu; Imam Abu Hanifah (700-767 M), Imam Malik (713-795 M), Imam Syafi'i (767-820 M) Imam Ahmad ibn Hanbal (780-855 M). Hal yang sama berlaku pula dalam bidang sastra. Penulisan hadits, juga berkembang pesat pada masa Bani Abbas. Hal itu mungkin terutama disebabkan oleh tersedianya fasilitas dan transportasi, sehingga memudahkan para pencari dan penulis hadits bekerja.

Karya/buku-buku tafsir dari ulama’ yang hidup pada zaman abasiyah adalah kitab al-jami’ al-Bayan yang ditulis at-Tabari (225 H/839 M-310 H/923 M), al-Kasysyaf oleh az-Zamakhsyari (467 H/1075 M-538 H/1144 M), dan Mafatih al-Gaib oleh Fakhruddin ar-Razi (543 H/1149 M-606 H/1189 M). Disamping itu para ulama juga mengumpulkan hadits, seperti; al-Musnad oleh Ahmad bin Hambal (w. 241 H/885 M). pengumpulan enam kitab yang dikenal al-kutub as sittah dpelopori oleh Bukhori (256 H/870 M), Muslim (261 H/875 M), Abu Daud (275 H/888 M), at-Tirmizi (279 H/892 M), an-nisa’i (303 H/915 M), dan Ibnu Majah (273 H/886 M).

Tradisi berdiskusi juga telah berkembang, adanya bayt al-hikmah sebagai tempat berkumpul untuk bertukar pikiran dan berdebat masalah keilmuan membantu dalam menciptakan suasana keilmuan yang kondusif. Dari diskusi, maka muncullah berbagai pemikiran kreatif sampai kepada aliran-aliran pemikiran.

Aliran-aliran teologi sudah ada pada masa Bani Umayyah, seperti Khawarij, Murjiah dan Mu'tazilah. Akan tetapi perkembangan pemikirannya masih terbatas. Teologi rasional Mu'tazilah muncul di ujung pemerintahan Bani Umayyah. Namun, pemikiran-pemikirannya yang lebih kompleks dan sempurna baru dirumuskan pada masa pemerintahan Bani Abbas periode pertama, setelah terjadi kontak dengan pemikiran Yunani yang membawa pemikiran rasional dalam Islam.

Perkembangan Ilmu-ilmu umum bisa dilihat dari, misalnya; ilmu kedokteran (at-Tibb) dengan didukung adanya sekolah khusus kedokteran di Jundishapur. Ilmu matematika, astronomi dikembangkan dengan fasilitas didirikannya observatorium pada masa khalifah al-Ma’mun di Sinjar. Dengan adanya observatorium itu menunjukan adanya tradisi penelitian/ekperimen yang tinggi di bidang ilmu eksak, tradisi ini juga berkembang pada penelitian hadits sehingga muncul berbagai kitab hadits.

Dalam bidang astronomi terkenal nama al-Fazari sebagai astronom Islam yang pertama kali menyusun astrolobe. Al-Fargani, yang dikenal di Eropa dengan nama Al-Faragnus, menulis ringkasan ilmu astronomi yang diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh Gerard Cremona dan Johannes Hispalensis.

Bidang kedokteran dikenal nama al-Razi dan Ibn Sina. Al-Razi adalah tokoh pertama yang membedakan antara penyakit cacar dengan measles. Dia juga orang pertama yang menyusun buku mengenai kedokteran anak. Sesudahnya, ilmu kedokteraan berada di tangan Ibn Sina. Ibn Sina yang juga seorang filosof berhasil menemukan sistem peredaran darah pada manusia. Diantara karyanya adalah al-Qoonuun fi al-Thibb yang merupakan ensiklopedi kedokteran paling besar dalam sejarah.

Bidang optikal Abu Ali al-Hasan ibn. al-Haythami, yang di Eropa dikenal dengan nama Alhazen, terkenal sebagai orang yang menentang pendapat bahwa mata mengirim cahaya ke benda yang dilihat. Menurut teorinya yang kemudian terbukti kebenarannya bendalah yang mengirim cahaya ke mata.

Di bidang kimia, terkenal nama Jabir ibn Hayyan. Dia berpendapat bahwa logam seperti timah, besi dan tembaga dapat diubah menjadi emas atau perak dengan mencampurkan suatu zat tertentu.

Di bidang matematika terkenal nama Muhammad ibn Musa al-Khawarizmi, yang juga mahir dalam bidang astronomi. Dialah yang menciptakan ilmu aljabar. Kata "aljabar" berasal dari judul bukunya, al-Jabr wa al-Muqoibalah.

Dalam bidang sejarah Islam terkenal nama at-Tabari, al-Birudi. Dan al-Mas'udi. Al-Mas’udi juga dikenal sebagai ahli dalam ilmu geografi. Diantara karyanya adalah Muuruj al-Zahab wa Ma'aadzin al-Jawahir. Sebagain besar sejarawan periode Abbasiyah mempelajari dan menulis tentang sejarah hidup Nabi SAW (sirah). Salah satu sirah yang adalah yang ditulis oleh Muhammad bin Ishaq (w. 150 H/767 M).

Tokoh-tokoh terkenal dalam bidang filsafat, antara lain al-Farabi, Ibn Sina, dan Ibn Rusyd. Al-Farabi banyak menulis buku tentang filsafat,logika, jiwa, kenegaraan, etika dan interpretasi terhadap filsafat Aristoteles. Ibn Sina juga banyak mengarang buku tentang filsafat. Yang terkenal diantaranya ialah al-Syifa'. Ibn Rusyd yang di Barat lebih dikenal dengan nama Averroes, banyak berpengaruh di Barat dalam bidang filsafat, sehingga di sana terdapat aliran yang disebut dengan Averroisme.

Penerjemahan buku-buku asing marak dilakukan pada masa ini, tidak saja karya orang Nestoris dan aliran Neoplatonis dari Mesopotania juga banyak, bahkan khalifah juga berusaha untuk membeli berbagai karya ilmiah klasik dari kalangan manapun dan dari bahsa manapun termasuk bahasa yunani, persia dan lainya, termasuk musuh politik mereka sekalipun, jika tidak memperoleh manuskrip dengan penaklukan.

Perhatian masyarakat sangat tinggi dibidang sastra, bisa dikatakan Pada abad ini adalah abad keemasan sastra Arab dan sejarah, masyarakat arab sangat membanggakan sastra dan asal usul mereka, dalam periode awal abbasiyah telah didapati banyak terjemahan dari bahasa Pahleli atau adaptasi dari bahasa persia. Banyak orang-orang yang gemar untuk menulis sastra dan sejarah kabilah-kabilah mereka, kehebatan nenek moyang meraka sangat dibanggakan. Bagian sejarah yang penting adalah riwayat nabi Muhammad.

Berkembanganya pemikiran intelektual dan keagamaan pada periode ini (Abbasiyah) antara lain karena kesiapan umat Islam untuk menyerap budaya dan khazanah peradaban besar dan mengembangkannya secara kreatif, ditambah dengan dukungan dari khalifah pada waktu itu dengan mengfasilitasi terciptanya iklim intelektual yang kondusi. Sumbangsih Pada era ini, didukung sikap umat Islam yang terbuka terhadap seluruh umat manusia yang datang berinteraksi dengan mereka, hal inilah menimbulkan simpati dan mendorong orang-orang non arab (mawali) untuk masuk Islam. Kelompok ini ikut mamberi sumbangan besar bagi kemajuan paradaban pada masa ini. Para ilmuan pada masa ini menduduki posisi penting.

III. Pendirian Madrasah dan Perpustakaan (Bayt- al-Hikmah)

Pada masa daulah Abbasiyah, ibu kota Bagdad menjadi pusat intelektual muslim, di mana terjadi pengembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan Islam. Perpustakaan adalah salah satu cara yang ditempuh oleh orang dahulu untuk menyiarkan ilmu pengetahuan. Pada masa itu buku-buku sulit untuk dimiliki karena belum ada mesin percetakan sehingga penyebarannya masih melalui tulisan tangan. Sehingga wajar buku-buku yang ada hanya dimiliki atau mampu dibeli oleh golongan kaya atau yang memilki kemauan keras untuk menuntut ilmu pengetahuan. Oleh kerena itu keberadaan perpustakaan sangat menolong dan bermanfaat bagi orang-orang yang ingin menggali maupun menyebarkan ilmu pengetahuan.

Berbagai buku dikumpulkan diperpustakaan dan dibuka untuk umum. Dalam peradaban yang tinggi untuk ukuran saat itu, buku-buku mempunyai nilai moril yang sangat tinggi. Keberadaan buku dimuliakan, pengahargaan meraka terhadap buku-buku menjadikan meraka sangat mendukung pendirian dan keberadaan perpustakaan. Banyak perpustakaan yang tidak hanya didirikan di tempat-tempat umum oleh penguasa (khalifah), tetapi juga di rumah-rumah para pembesar dan orang kaya, karena bagaimanapun keberadaanya perpustakaan akan menjadi rumah itu lebih baik bersemarak dan tuan rumahnya menjadi orang terpandang dan mulia.

Tersedianya berbagai buku serta kajian ilmiah yang dilakukan dalam perpustakaan tersebut telah menjadi salah satu bibit tumbuhnya lembaga tinggi Islam yang pertama, seperti Akademi Bayt- al-Hikmah di Bagdad dan Akademi Dar al-Hikmah dengan Cairo. Jadi keberadaan perpustakaan dalam tradisi keilmuan Islam, mempunyai peran bukan saja sebagai sarana peminjaman buku, namun sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan. Hal ini juga yang terjadi pada perpustakaan Bayt- al-Hikmah yang disamping berfungsi sabagai perpustakaan untuk merangsang gerakan penerjemahan karya-karya logika, keilmuan dan filsafat dalam bahasa Arab juga telah menjadi pusat transmisi keilmuan pada masa daulah Abbasiyah.

Menurut Ibnu al-Nadhim, Madrasah dan Perpustakaann (Bayt- al-Hikmah) dibangan pada masa Khalifah Harun al-Rasyaid dan dilanjutkan pada masa Khalifah al-Amin untuk kemudian direnovasi kembali oleh Khalifah al-Ma’mun pada tahun 217/832 M dengan biaya sebesar satu juta dolar. Hal ini ditunjukan dengan adanya ‘Abu Sahl al-Fadl bin Naubakhat yang bertugas menerjemahkan buku-buku asing, yaitu dari buku-buku yang ditulis kedalam Persi ke dalam bahasa Arab di Khazanah al-Hikmah pada masa Harun al-Rasyid dan ‘Allan al-Syu’ubi asal Persia yang bertugas menulis buku-buku pada masa Khalifah Harun al-Rasyid, Al-Ma’mun dan keluarga al-Baramikah.

Faktor-Faktor Pendorong Perkembangan Madrasah dan Perpustakaan (Bayt al-Hikmah)

Keberadaan Bayt- al-Hikmah yang membawa dunia intelektual Islam kemasa kejayaan dan keemasan abad tengah, tentu saja telah mengundang mnat para ahli untuk menganalisa dan mempelajari kondisi-kondisi internal sebagai faktor penyebab kemajuan perkembangannya. Disini dapat dikemukakan beberapa faktor pendorong perkembangan Bayt- al-Hikmah tersebut, baik yang bersifat intern maupun ekstern.

Faktor–faktor intern yang dimaksud adalah:

1) Terciptanya stabilitas politik, kemakmuran ekonomi dan adanya dukungan dari khalifah Abbasiyah, karena mempunyai kecenderungan kepada ilmu pengetahuan, sebagai pendorong utama laju berkembangnya lembaga Bayt- al-Hikmah sejak masa khalifah al-Ma’mun. Khalifah ini selalu berupaya mendukung kegiatan Bayt- al-Hikmah, seperti memberi penghargan tinggi bagi sarjana-sarjana yang mempunyai reputasi yang tinggi dan bidangnya. Ia telah memberikan gaji yang cukup tinggi kepada para penerjamah yang ditugaskan di Bayt- al-Hikmah.

2) Adanya kebebasan keintektualan dan interaksi positif antara orang-orang Arab Muslim dan non Muslim, serta toleransi dan suasana penuh keterbukaan.

3) Adanya respon umat Islam terhadap usaha pengembangan Ilmu pengetahuan yang diikuti dengan adanya semangat keagamaan dan disertai pemikiran yang rasional.

4) Menurut azzumardi Azra dalam bukunya; “Esei-esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam Tinggi”, sebagai berikut:

“Kemajuan pendidikan seperti yang ada di Bayt- al-Hikmah ini, disamping didorong ajaran-ajarannya Islam yang menuntut penganutnya untuk mengembangkan ilmu pengetahuan,juga karena kemampuan masyarakat mewujudkan situasi keilmuan yang dinamis. Pendidikan tinggi Islam tidak bersifat eksklusif, ia terbuka terhadap pikiran-pikiran non-muslim. Objektifitas keilmuan yang direfleksikan dengan penerimaan diktum-diktum ilmiah secra kritis melalui perdebatan-perdebatan intelektual meratakan jalan bagi kemajuan pikiran Islam.

Pendidikan tinggi Islam sebagai pusat intelektual tidak berubah menjadi “menara gading” yang steril dan terasing dari lingkungan masyarakatnya. Ia responsif terhadap perubahan-perubahan yang terjadi di lingkungan yang mengitarinya. Sebagaimana terlihat, ia terbuka bagi setiap pencinta Ilmu, tanpa dibarengi oleh birokrasi-birokrasi dan formalitas yang ketat.”

5) Adanya pertentangan di kalangan kaum muslimin sendiri dan terpecahnya mereka menjadi golongan-golongan, di mana tiap-tiap golongan berusaha untuk mempertahankan wujud dirinya, dan memerlukan bahan-bahan perdebatan. Hal ini terjadi antara Mu’tazilah dan golongan Ahl al-Sunnah wal Jama’ah.

6) Situasi politik saat itu, dimana setiap tokoh yang berkuasa harus bisa mengambil hati rakyatnya agar tetap menaruh simpati pada pemimpinnya. Itulah para khalifah Abbasiyah telah mengalihkan perhatian rakyat pada pentingnya ilmu pengetahuan yang memang begitu diminati masyarakat Arab pada waktu itu.

7) Terpadunya peranan Bayt- al-Hikmah sebagai lembaga penerjemahan, akademi, perpustakaan dan observatorium, menyebabkan lembaga tersebut dapat mengoptimalkan perannya dalam transmisi ilmu pengetahuan.

Sedangkan beberapa faktor intern yang berperan besar dalam pendirian dan pengembangan Bayt- al-Hikmah ini adalah:

1) Adanya kesepakatan antara Kaisar Romawi dan Kalifah al-Ma’mun yag isinya telah memperkenankan kepada khalifah al-ma’mun untuk menjalin berbagai buku langka peninggalan Yunani kono yang ada di wilayah imperium Romawi dan membawa buku-buku tersebut ke Bayt- al-Hikmah di Bagdad.

2) Kesediaan orang-orang Kristen Nestorius untuk bekerja di Bayt- al-Hikmah dan membantu khalifah dalam menerjemahkan buku-buku asing tersebut ke dalam bahasa Arab seperti yang telah dilakukan oleh Hunain bin Ishaq dan murid-muridnya.

3) Muncul dan berkembangnya pemikiran Yunani dan Persia yang sangat mempengaruhi model pemerintahan khalifah Abbasiyah. Sebab pemikiran tersebut sangat mendukung untuk mmeperkenalkan idealnya manusia mengenai pengukuhan diri kalangan aristokrasi. Seorang aristokrat haruslah seorang yang menguasai berbagai bidang pengetahuan, kepustakaan, sejarah, filsafat, dan agama.

IV. Keistimewaan dan Keunggulan

Koleksi yang dimiliki oleh Bayt al-Hikmah cukup lengkap mulai dari buku-buku agama Islam (kitab-kitab Tafsir, hadits/al-Kutub as Sittah, teologi sampai kepada buku Sains; Astronomi, Matematika, Sejarah, Kedokteran (Al Hawi oleh Muhammada bin Zakaria, Ali Abbas dengan kitab al- Malki, Ibnu Sina dengan al-Qanun fi at Tibb dan sebagainya) ditambah lagi dengan kitab-kitab sastra dan buku-buku yang dihadirkan dari hasil terjemahan. Koleksi yang dimiliki tidak kurang dari 100.000 volume, boleh jadi sebanyak 600.000 jilid buku, termasuk 2.400 buah al-Qur'an berhiaskan emas dan perak disimpah diruang terpisah. Menurut Cyril Elgood:

Buku-buku lainya—tentang ilmu-ilmu hukum (figih), tata bahasa, retorika, sejarah, biografi, astronomi, dan ilmu kimia—tersimpan dalam rak (peti) buku yang luas di sekitar (sepanjang) dinding, yang terbagi dalam susunan di atas rak-rak buku, masing-masing memiliki satu pintu dengan sebuah kunci. Di atas pintu masing-masing bagian, tergantung satu daftar buku-buku yang ada di dalamnya, demikian pula peringatan (keterangan) tentang buku-buku yang tidak ada dari masing-masing cabang ilmu pengetahuan.

Bayt al-Hikmah bukan hanya sekedar sebagai perpustakaan saja dengan koleksi bukunya, tetapi dia berfungsi sebagai lembaga penerbitan dan lembaga penerjemahan, yang tentunya dari berbagai buku yang di terjemahkan tanpa melihat latar belakangnya dan hal ini mendapat dukungan yang tinggi dari khalifah pada waktu itu dengan menunjuk orang sebagai penerjemah dan sampai kepada pembelian buku dari daerah lain jika daerah itu belum di taklukan oleh khalifah.

Disamping itu Bayt al-Hikmah berfungsi sebagai observatorium, tempat untuk melakukan eksperimen, dan juga sebagai tempat berkumpul untuk berdiskusi, sehingga dari hasil diskusi dan penelitian ini maka akan menghasilkan ilmu baru dan nantinya akan di terbitkan menjadi buku.

V. PembangunanTradisi Keilmuan Pendidikan Islam

Jika kita perhatikan masa kejayaan Islam (Abbasiyah), tentunya hal yang menarik kita perhatikan adalah tingginya tradisi keilmuan masyarakat. Tradisi yang berkembang pada waktu itu adalah tradisi membaca, menulis, berdiskusi, keterbukaan/kebebasan berfikir, penelitian serta pengabdian mereka akan keilmuan yang meraka kuasai. Bagi mereka adalah kepuasan tersendiri bisa mempunyai kekayaan ilmu.

Tradisi intelektual terlihat dari; kecintaan mereka akan buku-buku yang hal itu dibarengi dengan adanya perpustakaan-perpustakaan baik atas nama pribadi yang diperuntukkan kepada khalayak umum atau yang disponsori oleh khalifah, para ulama sengaja open hause bagi siapa aja yang datang kerumahnya untuk membaca (mencari ilmu). Kedudukan meraka juga dimata masyarakat sangat mulia. Sedemikian cintanya masyarakat akan ilmu sampai-sampai khalifah pada waktu itu untuk merebut hati masyarakat harus memberi perhatian kepada pengembangan ilmu, jadi tidak heran khalifah mendirikan perpustakaan dan beberapa penghargaan bagi ulama atau orang-orang yang berhasil menemukan keilmuan baru.

Hasil membaca meraka kemudian didiskusikan dan kembangkan lagi, meraka menjadikan perpustakaan dan masjid sebagai tempat berdiskusi, dari sinilah memunculkan ide/keilmuan baru, tercipta tradisi menulis, menyadarkan kebutuhan untuk berkarya yang sangat tinggi, sehingga kita bisa menikmati hasilnya dari karya-karya mereka.

Tradisi penelitian juga kita lihat dari temuan-temuan (eksperimen) ilmu dalam bidang sains; matematika; kedokteran, astronomi dan lainya. Hal ini juga kita bisa amati dari adanya observatorium yang berada di sinjar pada khalifah al-Ma’mun, atau adanya sekolah khusus kedokteran di Jundishapur. Penelitian akan hadits dan lain sebagainya. Itulah Keingintahuan meraka yang sangat tinggi bukan hanya keilmuan yang bernuansa keislaman tapi juga bernuangsa ilmu alam.

Kebebasan—keterbukaan berpikir dan kecintaan ilmu memotivasi kegiatan penerjemahan pada waktu itu tanpa memandang dari mana buku itu dan siapa pengarangnya, mereka tidak melihat lagi latarbelakang agama, maupun bangsa (daerah), malah meraka bisa kerjasama dalam keilmuan dengan bangsa lain atau orang-orang non Islam tanpa sedikitpun takut akan hilang atau rusaknya akidah meraka.

Tradisi yang sama juga telah berkembang di tradisi keilmuan barat; motivasi mereka sangat tinggi untuk mencari ilmu, tradisi membaca dan berdiskusi tinggi, tradisi meneliti yang tinggi, keterbukaan berfikir dan kebutuhan untuk berkarya juga sangat tinggi. Teknologi dan informasi kebanyakan dikuasai oleh barat, banyak temuan dan peraih nobel pengetahuan bukan dari kalangan Islam.

Inilah menurut penulis kemajuan Barat dan Islam Abbasiyah dalam hal ilmu pengetahuan yang perlu kita kembangkan untuk kemajuan dibidang pendidikan Islam. Inilah yang harus dilakukan untuk mengejar ketertinggalan dengan membangun tradisi keilmuan yang kondusif dalam lingkungan masyarakat akademis. Menciptakan tradisi membaca, tradisi menulis, berdiskusi, meneliti, keberanian untuk berfikir kreatif dan terbuka dengan keilmuan lainya.

Probem pendidikan Islam adalah problem sistemik, kita perlu melibatkan berbagai pihak untuk bisa lepas dari keterpurukan. Mulai dari pemerintah sebagai pembuat kebijakan secara makro bagi sistem pendidikan nasional dan sebagai pengayom pelaksanaannya, lembaga pendidikan Islam, pendidik, peserta didik sampai kepada orang tua pendidik (anak didik) harus dilibatkan dengan resposibility yang tinggi.

Pemerintah menjadi faktor penting dalam membangun iklim belajar yang kondusif, yang mampu menyediakan fasilitas pendidikan yang memadai; sarana praktikum, buku dan gedung yang kondusif untuk sarana belajar dan akses pendidikan untuk warga miskin. Pemerintah harus cermat dalam menentukan anggaran pendidikan serta mengawalnya, sehingga tidak ada penyelewengan anggaran pendidikan yang hal itu memperngaruhi pelaksanaan program pendidikan.

Bagi lembaga sekolah dan pendidik harus mampu memberikan kebijakan dalam rangka membentuk tradisi intelektual (membaca, menulis, meneliti dan berdikusi serta berkarya) di kampus atau disekolah, misalnya dengan mengadakan lomba karya tulis ilmiah, lomba penelitian, lomba debat, memberikan motivasi untuk membaca, menggunakan metode dan media yang bisa mengembangkan daya pikir, kreatifitas, membuat program-program lainya untuk pengembangan diri dan menciptakan lingkungan yang kondusif untuk belajar.

Bagi orang tua membantu menciptakan suasana akademis dirumah, dengan mengarahkan meraka untuk belajar dan selalu memotivasi meraka untuk maju. Orang tua juga berkewajiban mengawasi prilaku anak didik, orang tua juga harus mengetahui program sekolah, sehingga kegiatan sekolah terbantu oleh orang tua ketika mereka berada diluar sekolah. Antara sekolah (lembaga Pendidikan Islam), guru (pendidik) dan orang tua anak didik harus saling komunikasi; Sekolah mengetahui kebutuhan masyarakat dan masyarakat mengetahui kebutuhan sekolah, mengetahui problem anak didik dan sebagainya. Hal ini memungkinan untuk mengetahui dan selanjutnya membicarkan problem-prolem pendidikan yang sedang terjadi, sehingga ditemukan solusi yang tepat untuk berbagai pihak

Pengembangan tradisi-tradisi keintelektualan, harus dikembangkan mulai dari pendidikan dasar dan dari lingkup terkecil, keluarga. Jika tradisi tersebut tidak dikembangkan dari pendidkan dasar dan keluarga, maka pendidik akan kesulitan menciptakan tradisi keilmuan untuk mereka, sehingga penciptaan tradisi itu selalu terlambat untuk diterapkan. Butuh proses yang panjang dalam mewujudkannya, tapi jangan pesimis melihat wajah pendidikan Islam saat ini.

VI. Penutup

Pada masa inilah Islam meraih kejayaanya. Banyak kontribusi keilmuan yang disumbangkan. Karya dan tokoh-tokohnya telah menjadi inspirasi dalam pengembangan keilmuan, oleh karena itu masa ini dikatakan sebagai masa keemasan Islam walau akhirnya peradaban Islam mengalami kemunduran dan kehancuran di bidang keilmuan bersamaan dengan berakhirnya pemerintahan Abbasiyah.

Dari kajian ini, diharapkan mampu menyadarkan kita akan pentingnya lingkungan intelektual yang kondusif dan memotivasi untuk mencari ilmu. Belajar sejarah akan tidak ada gunanya jika kita tidak bisa mengambil pelajaran darinya. Amin.





Daftar Pustaka


Amin Mansur. Sejarah Peradaban Islam.. Bandung: Indonesia Spirit Faoundation, 2004

Azra Azumardi, Esei-eseiIntelektual Muslim dan Pendidikan Islam. Jakarta: Logos, 1998

Hanafi Ahmad, Pengantar Filsafat Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1990

Hasan Ibrahim, Sejarah dan kebudayaan Islam (islamic History and Culture) terj. Djahdan Humam Yogyakarta: Tiara Wacana, 1989

Langgulung Hasan, Manusia Dan pendidikan; Suatu Analisa Psikologis, filsafat dan Pendidikan. Jakarta: Al-Husna Baru, 2004

Lapidus Ira M.,. Sejarah Sosial Umat Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada,1999

Lubis Nur Ahmad Fadhil. Ensiklopedi Tematis dunia Islam (Khilafah), Jakarta: Ikhtiayas Baru Van Hoeve.

Mahmudunnasir Syed, Islam Konsepsi dan Sejarahnya. Bandung: Rosda Karya, 1991

Maryam Siti, ed. Sejarah Peradaban Islam; dari Masa Klasik Hingga Modern. Yogyakarta: LESFI. 2003

Nakosteen Mehdi. Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat; Deskripsi Analisis abad keemasan Islam Surabaya: Risalah Gusti, 1996

Watt W. Montgomery, Kejayaan Islam; Kajian kritis dari Tokoh Orientalis. Yogjakarta: Tiara Wacana, 1990

Zuhairini dkk,. Sejarah Pendidikan Islam. (Jakarta: Bumi Aksara, 1997)